Thursday, October 28, 2010

Where art thou, Gentleman?

If I should choose one thing this country is definitely lacking of; it would be "gentlemen".

Beberapa saat yang lalu saya menghabiskan waktu bersama sekumpulan mahasiswa yang berlomba di luar Jakarta, dan berkesempatan mengamati tingkah laku mereka sehari-hari.
Tanpa disangka, ada beberapa lelaki yang langsung mendapat perhatian saya, because they act like a real man. Mau membantu membawakan barang saat beberapa perempuan kelelahan, mau mengerjakan hal-hal yang membutuhkan banyak tenaga, memberikan tempat duduk pada wanita, sampai menyalakan rokok seorang wanita. Dan bukan dari grup itu saja, lucunya, saya pun menemukannya pada beberapa personil grup lain yang umumnya berasal dari daerah di luar Jakarta.

Saya pun mulai memeras otak, di Jakarta, hal semacam itu jarang sekali terjadi. Bahkan bisa dihitung dengan jari. Mungkin karena saya bukan perempuan cantik yang langsung bisa menarik perhatian. Cuma satu kali (seumur hidup) saya diberi tempat duduk oleh seorang laki-laki di Trans Jakarta. Cuma 2 orang lelaki non-gay yang bisa saya ingat pernah mau membawakan barang saya saat saya merasa keberatan. Dan seringkali situasi di mana saya dan teman-teman merasa 'kekurangan tenaga lelaki' itu adalah dalam lingkungan lelaki berpendidikan, di kampus, mall, pesta, dllsb. Kadang malah yang membantu adalah teman-teman yang gay (so, boys, don't hate gays, you all never act like a man yourselves!)

Harus diakui, bagaimanapun perempuan berpartisipasi dalam kesetaraan gender, tidak ada perempuan yang tidak suka diperlakukan dengan baik dan penuh hormat layaknya film-film hitam putih era tahun 60-an. Dan hal-hal itu dimulai dari yang sederhana.

Kadang saya mendengar pertanyaan laki-laki, kenapa yah nggak dapet-dapet pacar?
I can answer that very quickly; BE A MAN!
SIMPLY A MAN!

Beri tempat duduk untuk perempuan di bis.
Bawakan barang si perempuan kalau ia terlihat kesusahan.
Antarkan teman perempuan pulang bila sudah malam.
Jangan gunakan kata kasar saat berbicara dengan perempuan.
Jangan bercanda berbau seks.

Apa sih susahnya?

Semua itu kan cuma berawal dari kepekaan seorang lelaki untuk menolong!

Apa memang sudah tidak ada lagi role model yang tepat untuk menjadi seorang gentleman?
I personally hate the way rappers and punks and rockstars look and behave on TV.
The only people shown having clean-cut outfits and nice attitude are gays.

The truth is; there are still gentlemen out there.
And the girls are CRAVING for them!

So, where are you all?
T____T

Sunday, October 10, 2010

TV: Tak Kenal Kata Bosan (mungkin)

Mengapa, oh mengapa, setiap kali ada acara di televisi yang bagus (ITU SAJA SUDAH JARANG, BUKAN?), acara tersebut diulur-ulur, dipanjangkan sepanjang-panjangnya, ditahan terus, bahkan sampai mengada-ngada?

Dearest Television people,
apa Anda sekalian tidak mengenal kata "BOSAN"???

bo·san a sudah tidak suka lagi krn sudah terlalu sering atau banyak; jemu:
mem·bo·san·kan v menyebabkan atau menjadikan bosan; menjemukan

Contoh yang paling baru adalah Indonesia Mencari Bakat dari TransTV (there, I'm saying it out loud). Awalnya, saya memang berlaku skeptis terhadap acara tv apapun di Indonesia, namun kemudian saya (terpaksa) menonton acara ini karena seorang teman dekat menjadi kontestannya.

Unexpectedly, saya sangat menyukai acara ini!
Juri-jurinya bersikap profesional, acaranya dikemas dengan menarik, para kontestannya memiliki bakat-bakat yang unik dan berbeda satu sama lain, host-nya juga ditampilkan dengan image yang tepat (bergaya seperti Ryan Seacrest dan cukup sukses), dan jalinan acaranya sendiri tight, cepat, jelas dan akurat.

Ternyata, saya bukan satu-satunya pemirsa yang menggemari acara ini. IMB pun menjadi hits, setiap ada peserta yang tereliminasi, muncul di trending topic Twitter. Semua menjadi tegang saat-saat eliminasi.

Bila acara mencapai kesuksesan semacam ini di Amerika, ada beberapa cara cerdas untuk menyikapinya, misalnya melelang slot iklan yang ada. Tingkat popularitas acara dijadikan bargaining position untuk membuat sponsor berlomba mengiklankan produknya pada slot waktu tersebut dengan harga mahal. Hal ini juga berimbas pada pengisi acara yang kemudian juga punya bargaining position untuk menaikkan gaji.

Tapi apa yang dilakukan di Indonesia?
1. memperpanjang durasi acara
Slot iklan ditambah (bukan dilelang!), durasi pun diperpanjang. Tadinya 1 jam jadi 2 jam. Kalau bisa ditambah sedemikian rupa sehingga tiap kita menyetel tv, acara itu yang muncul. *sinis* Teman saya sempat berkomentar saat menontonnya, meninggalkannya, lalu saat dia menyalakan tv, acara itu masih berlangsung; "Ini adalah acara yang tak pernah selesai."
2. memperpanjang waktu tayang
Tadinya cukup 3 bulan, jadi 6 bulan, bahkan setahun, sehingga begitu berhenti, langsung bisa masuk season berikutnya. Lihat saja IMB, perpanjangannya jadi mengada-ngada, eliminasi dilakukan 2 minggu sekali! Apa-apaan itu? Mengubah format acara agar tayangnya lebih lama, dan melihat waktunya, saat pemenang IMB terpilih nanti, peserta IMB 2 sudah mulai diaudisi. Sungguh konyol.
Jangan sedih, kadang cerita latar belakang para peserta pun jadi diceritakan secara dramatis dan berlebihan dan dipanjang-panjangkan. Demi mengisi waktu dan menambah airmata di negeri yang selalu banjir airmata ini. *makin sinis*

Saya tahu, euforia publik memang sangat bermanfaat untuk meraup keuntungan. Tapi betapa dangkalnya pemikiran para pengelola TV, jika euforia itu ditanggapi dengan euforia juga! IMB hanyalah satu acara dari sekian banyak acara yang akhirnya jadi lelucon, karena kualitasnya jelas menurun, alirannya tidak lagi tight, dan mengada-ngada. Sebutlah sinetron Tersanjung 1-6, Cinta Fitri, Indonesian Idol, dllsb.

Publik juga kenal kata BOSAN!


Betapa dangkalnya, bila stasiun televisi ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari satu acara saja, sehingga kemudian rela mengorbankan kualitas acara itu sendiri. Lihat saja Indonesian Idol, yang kualitasnya makin terpuruk; dan saat kualitas terpuruk, POPULARITAS PUN TURUN! Bukankah itu LOGIKA DASAR yang harusnya dimiliki orang-orang yang bekerja di belakang program-program televisi?

Saya rasa wajar bila saya merasa pemenang Indonesian Idol terakhir (saya sudah tidak tahu, season berapa, dan siapa namanya, tidak berkesan!) disandingkan dengan pemenang Idol season-season sebelumnya seperti Mike atau Joy Tobing & Delon sekalipun. Jangan buat saya mulai membahas soal dramatisasi kisah latar belakang para peserta yang makin berlebihan itu. Itu boleh jadi nilai plus untuk menggalang simpati, wajar, tapi BUKAN KRITERIA UTAMA! Kriteria utama, di dunia ini, adalah BAKAT! KEMAMPUAN!

(Kalau memang Indonesia cuma mampu membuat program yang mengemis rasa kasihan orang, berarti alangkah sedihnya kita semua, yang menjadi pemirsa, karena kita dididik untuk memiliki mental PENGEMIS. Tidak perlu berusaha, yang penting membuat terharu.)

Hari ini sedikit sekali orang yang berkomentar soal IMB di Twitter.

Haruskah semua program televisi yang berkualitas berakhir nantinya karena penurunan kualitas?

MENYEDIHKAN.