Friday, August 17, 2012

Nasionalisme; Romantisme?

Hari ini adalah hari Kemerdekaan Indonesia.

Entah mengapa saya tidak terlalu tergerak untuk merayakan hari kemerdekaan ini. Sungguh, bukan karena saya pesimis terhadap bangsa dan negara ini. Saya adalah satu dari entah berapa banyak pemuda-pemudi yang masih percaya, bahwa bangsa ini sedang berjalan menuju suatu masa depan yang baik, asalkan kita tidak berhenti bekerja, berkarya, berdoa. :)

Saya pun mulai berpikir, apakah saya kurang nasionalis?

Lalu muncul pertanyaan berikutnya, apakah nasionalisme itu?
Jangan-jangan nasionalisme hanyalah sebuah ide romantis dalam hidup berbangsa?

Di Wikipedia baris awal, nasionalisme didefinisikan dengan cara begini;
"Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia."

Dalam pemahaman saya, nasionalisme ditanamkan dan dipertahankan untuk mewujudkan persatuan sebuah bangsa dan negara. Isu-isu SARA yang belakangan ini marak di Indonesia harusnya bisa dengan mudah diredam dengan paham ini. Mengapa? Karena nasionalisme mengajarkan kita untuk memiliki identitas bersama; sebagai satu bangsa, terlepas dari berbagai suku, agama, ras, dan adat-istiadat.

Namun apakah nasionalisme sebegitu krusialnya, di seluruh dunia?

Mengacu pada sebuah pengalaman saya berdiskusi di sebuah kelas bahasa di benua Eropa, saya menarik kesimpulan, bahwa nasionalisme krusial tidak di segala bangsa. Orang-orang Eropa yang berada di kelas saya tidak menyukai saat kita mempertanyakan, darimana asal mereka; apakah asli Jerman, Itali, Norwegia, atau memiliki keturunan bangsa lain. Mereka kurang suka dikotak-kotakkan, karena akan mudah masuk dalam stereotip tertentu.

Sementara, saya bersama teman-teman yang berasal dari Asia (Cina, Jepang, India) terkejut dengan hal ini. Menurut kami, tidak mengakui asal-muasal (ras) itu seperti melecehkan negara dan bangsa sendiri. Seakan-akan malu dengan negara asal. Kami dididik untuk bangga pada leluhur dan tanah air, bagaimanapun keadaannya.

Maka diskusi hari itu pun menjadi semarak. Teman-teman dari benua Eropa mempertanyakan, apakah nasionalisme tidak menjadi berbahaya; karena kemungkinan adanya perasaan eksklusif? Apakah nasionalisme tidak menghambat kehidupan kami yang akhirnya selalu ingin pulang ke tanah air? Sementara teman-teman dari Asia ikut mempertanyakan, apakah dengan tidak adanya identitas kebangsaan kehidupan menjadi lebih mudah? Lalu siapa yang melestarikan budaya? Tidakkah ada 'sense of belonging' terhadap negara dan pemerintahan?

Di penghujung kelas. Kami semua memiliki bahan permenungan, dan pelebaran wawasan. Semua memiliki jawaban dan pandangan yang beragam. Saya ingat seorang teman dari Itali (dia memilih untuk disebut 'orang Eropa' saja) mengatakan; pada akhirnya terlepas dari sebuah asal usul, yang penting adalah menjadi orang yang baik. Mengapa harus membatasi diri pada sebuah komunitas, saat kita bisa melakukan kebaikan pada siapa saja dan berkarya di mana saja?

Lalu, pentingkah nasionalisme itu?

Pada akhirnya, kita masing-masing yang dapat menjawabnya.
Saya, yang terlahir dan bangga menjadi orang Indonesia, masih menganggap nasionalisme itu penting. Karena saya kemudian memiliki sebuah ikatan budaya, ikatan keluarga, ikatan tanggung jawab melakukan sesuatu untuk bangsa, melakukan sesuatu tidak hanya untuk diri sendiri melainkan sebuah komunitas yang lebih besar - yang terlepas dari kotak suku, agama, ras, dan adat-istiadat. Selain itu, dengan memiliki ikatan yang kuat dengan kampung halaman, saya merasa aman. Ke manapun saya pergi, di manapun saya berkarya, saya tahu bahwa di sebuah kepulauan bernama Indonesia, saya punya rumah. A home.

Bagaimana dengan Anda? ;-)

Religius?

Entahlah bagaimana saya mencitrakan diri saya sendiri ini dalam kehidupan sehari-hari.
Saya tidak berusaha membuat suatu gambaran yang ideal agar menarik di mata orang lain, karena toh dengan menjadi apa adanya, saya memiliki keluarga, rekan kerja, dan sahabat-sahabat yang luar biasa.

Namun mengenai citra saya di mata orang, mulai menggelitik saat saya memutuskan untuk mengikuti sebuah kegiatan rohani bulan depan. 

TIDAK ADA YANG PERCAYA. :))

Saya sama sekali tidak tersinggung.
Menurut saya, semua orang berhak memiliki pendapat mengenai kehidupan religius saya. Saya sendiri pun menolak untuk menggembor-gemborkan hubungan saya yang sangat personal kepada Tuhan.

Saya hanya bertanya-tanya, apakah untuk menilai seseorang religius atau beriman, harus dilihat dari berapa kali ia pergi ke tempat ibadah? Haruskah saat kita beribadah, kita mengatakannya pada semua orang, atau minimal orang terdekat? Haruskah kita selalu berbagi pandangan iman kita dengan mengutip berbagai ayat dan menyebut nama-nama Nabi? Haruskah kita menyebutkan dalam berbagai jejaring sosial kegiatan kepemudaan atau perkumpulan doa yang kita ikuti? Haruskah kita begitu aktifnya dalam organisasi keagamaan untuk menandakan kedekatan kita dengan Tuhan?

Saya memahami kebanggaan yang muncul atas dasar sukacita dalam beriman. Mengapa tidak bersukacita, bila hidup dan hati Anda dipenuhi berkat?

Namun apakah itu satu-satunya cara untuk menjadi religius?

Saya hanya berpikir, bahwa religiositas itu sifatnya sesungguhnya universal. Ada nilai-nilai kebenaran yang tidak harus diklaim dengan cara-cara tertentu, dan bila ada yang melakukannya dengan cara yang lain dengan Anda, apakah otomatis menjadi salah?

Entahlah.
Saya hanya merasa, agama mungkin sifatnya komunal, tapi hubungan manusia dengan Tuhan pada dasarnya personal.

Dan tidak semua orang harus sependapat dengan saya. :)

Friday, July 13, 2012

Generasi Pesimis

"The ultimate tragedy is not the oppression and cruelty by the bad people but the silence over that by the good people."
Martin Luther King, Jr.

Belum lama ini Pilkada Jakarta berlangsung. Muncul nama2 yang cukup menggemparkan, seperti kandidat yang terlihat sederhana namun sepak terjangnya di kota lain cukup signifikan, dan munculnya kandidat2 independen non-partisan. Menarik. Saya sendiri menjatuhkan pilihan dengan berbagai alasan.

Tapi bukan itu yang ingin saya bahas hari ini.
Garis bawahnya adalah: saya memilih.

Sejujurnya saya tidak setuju pada tindakan golput. Ya, memang memilih adalah soal hak, bukan kewajiban. Kita berhak memberikan suara, tapi tidak harus. Namun mendengar alasan2nya, tidak semua masuk akal. Yang paling menyebalkan adalah alasan 'percuma'. Percuma, siapapun yang memimpin, Jakarta sudah amburadul.

COME ON, PEOPLE!
Inikah cerminan generasi yang akan meneruskan bangsa ini? Generasi pesimis?

Bukan cuma soal Pilkada. Sering sekali saya mendengar orang mengatakan kata 'percuma' saat membahas soal negara Indonesia ini. Dan ini fakta yang menyedihkan, karena bangsa ini mulai kehilangan harapan. Yng lebih menyedihkan, bukannya mencari harapan, kita memilih untuk diam. Toh percuma.

Tidak mau bayar pajak; percuma, toh uangnya akan dikorupsi juga.
Tidak mau memilih; percuma, toh siapapun yang memimpin Jakarta sudah berantakan.
Bahkan tidak mau buang sampah pada tempatnya, karena percuma, toh Jakarta akan tetap kotor juga...

Sebegitu rendahnya-kah Anda menilai diri Anda sendiri untuk melakukan perubahan? Dan bayangkan, sekian juta manusia yang berpikir serupa. Tak heran perubahan jauh dari jangkauan. Selalu memandang dan menyalahkan yang di atas. Kalau berbuat salah, menjadikan kesalahan atasan sebagai dalih. Kok saya disalahin, itu pejabat aja lebih salah ga ditangkep?! Heh, urusan dia itu. Anda kenapa ikut2an? Dosa kok cari temen. Karena banyak yang melakukan, jadi saya juga boleh, gitu? Kalo satu negara bunuh2an, saya jadi boleh membunuh juga, gitu? Salah ya tetap salah. Ilegal ya ilegal. Dosa ya dosa. Bukan karena rame2 dosanya jadi patungan...ilmu macam apa lagi itu...

Huh. Jadi marah2 ga ada juntrungan.

Intinya begini; kita semua mampu, berdaya untuk melakukan perubahan dari hal yang paling kecil. Dan bila memang tidak mampu melakukan apa2 dalam hidup ini, toh Anda tidak perlu menyebarkan sikap pesimis Anda terhadap semua orang. Sebuah negara yang hancur lebur karena perang atau bencana bisa bangkit lagi karena ada harapan. Ada semangat untuk maju, dan percaya bahwa mereka bisa maju. Bukan bersungut2 meratapi apa yang hilang dan tidak bisa diambil kembali, atau memberikan judgement bahwa sudah tidak ada harapan lagi.

Membangun dan membenahi Jakarta apalagi Indonesia jelas bukan hal mudah.

But hard is not impossible.
Call me naive and a hopeless romantic, but;
There is always hope, and there is always something we can do about it.

Wednesday, June 20, 2012

Lulusan Luar Negeri

Siapa sih yang nggak bangga jadi lulusan institusi bagus?

Apalagi bila institusi itu memiliki kredibilitas tinggi dan reputasinya 'susah' semacam Harvard, Oxford, dan lain-lain.

Tapi apa sih arti dari sebuah gelar dari institusi luar negeri?

Menurut saya, itu mencerminkan kecerdasan, ketekunan, dan keberanian. Karena kuliah di luar negeri itu sama sekali tidak mudah, bukan sekedar bayar. Saya sedang mengalami masa sulit untuk diterima di sebuah konservatori di Eropa, dan semakin menjalaninya, semakin besar rasa hormat saya pada para lulusannya. Banyak senior saya yang bukan sekedar lulus, namun sungguh berkarya banyak di Eropa maupun Asia, dengan kualitas yang luar biasa pula.

Lebih spesifik, saya bicara tentang para musisi klasik lulusan universitas atau konservatori Eropa. Di sini para musisi Indonesia harus berjuang setengah mati bersaing dengan orang-orang Eropa dalam musik dan budaya Eropa. Menjadi pelajar saja, harus bersaing dengan ratusan orang lainnya. Setelah berhasil melewati audisi performance, masih ada ujian teori musik, piano wajib, dan wawancara. Pada akhirnya dari ratusanorang, mungkin hanya 5-10 orang yang diterima, tergantung kebijakan. Kemudian, tidak semua orang juga mampu menyelesaikan studinya, karena memang berat.

Kembali pada paradigma lulusan luar negeri, menurut saya pada akhirnya yang penting adalah KUALITAS. Pada akhirnya, di panggung, para musisi yang bersekolah maupun tidak, harus menunjukkan kelas mereka, tahun-tahun latihan tersebut...tidak menjamin yang bersekolah lebih baik dari yang lain, dan sebaliknya.

Maka, sungguh mematahkan hati di saat mendengar kisah orang yang MENGAKU sebagai lulusan institusi luar negeri. Betapa mengejutkan!

Pertama, itu sama saja seperti pemalsuan ijazah. Kebohongan. Membangun reputasi dari sesuatu yang semu. Padahal dunia itu sempit loh! Bukannya tidak mungkin Anda akan bertemu dengan orang yang sungguh lulus dari institusi itu, dan kebohongan Anda terkuak.

Kedua, apa arti gelar palsu Anda, tanpa ilmu yang sungguh ditimba? Bukankah berarti Anda memiliki kekosongan ilmu dan pengetahuan yang harusnya didapatkan di institusi itu? Bila kualitas Anda ternyata tidak sebaik itu, maka Anda akan merendahkan institusi yang Anda pakai namanya...Lalu Anda datang pada sebuah publik yang tidak banyak memiliki akses terhadap perkembangan dunia musik klasik di luar negeri dan meracuni mereka dengan apa yang Anda buat sendiri. Betapa kejamnya.

Ketiga, betapa tidak adilnya pada orang-orang yang sungguh menimba ilmu hingga lulus! Mereka yang sungguh berjuang dalam audisi demi audisi, merasakan pahitnya ditolak, stres mencari tempat, belajar sungguh-sungguh, berjuang dan berlatih...lalu Anda datang dan MENGAKU telah melakukan itu semua.


Begini ya.

Kalau memang Anda berkualitas baik, kenapa juga harus mengaku memiliki sebuah gelar? Kalau memang Anda mampu, orang akan melihat. Kalau memang hanya les di luar negeri, tapi hasilnya baik, kenapa tidak berbangga dan berkarya? Banyak orang yang saya kenal tidak memiliki gelar spesifik, namun luar biasa juga karyanya di dalam dan luar negeri, sungguh terhormat dan membanggakan. Berbanggalah dengan apapun yang Anda capai, karena itu buah keringat Anda. Apa sebegitu langkanya kejujuran, dan sesulit itu untuk hidup dan membangun karir dengan jujur? Apalagi dalam bermusik...

Apalah gunanya talenta dan ilmu kalau bukan untuk berbagi?
Lalu apa yang berguna dari berbagi kebohongan?

Sungguh, saya masih berharap bahwa ini sekedar kesalahpahaman. Sama seperti halnya saya yang masih mencari tempat, tapi disangka sudah bersekolah. Semoga kebohongan bukan menjadi niatan...dan tidak diteruskan dengan kebohongan lain...

AMIN.

Tuesday, February 7, 2012

Random

Jangan protes. Tiba-tiba pengen aja posting puisi lama. :p


lima menit sebelum aku mati

ingatkan aku pada daun-daun yang gemerisik di bukit yang hijau

saat lonceng berdentang di kejauhan

ceritakan lagi padaku bagaimana buih-buih bermain di pinggir pantai

saat matahari hendak bersembunyi di ujung langit

lima menit sebelum aku mati

gambarkan padaku suara anak-anak yang berlarian di kampung

dan nenek-kakek yang berjalan gembira bergandengan

tertawalah karena kenangan-kenangan yang memalukan,

senyum, dan airmata yang kita tumpahkan

lima menit sebelum aku mati

bisikkan padaku; seumur hidupku

aku telah menemukan

potongan-potongan Tuhan.


somewhere, 2011

Monday, January 23, 2012

Bermain Internasional

Suatu hari saya pernah mendengar kisah salah seorang konduktor besar di Indonesia, mengenai usahanya memajukan musik klasik Indonesia. Saat beliau berhadapan dengan para petinggi-petinggi kita, seringkali jawabannya kira-kira,
"Buat apa, toh kita punya musik daerah sendiri yang hebat dan perlu dilestarikan."

Dari sinilah pemikiran saya yang 'kepo' berkembang.

Seringkali saya merasa, bangsa kita ini menempatkan ego dan gengsi tidak pada tempatnya. Tidak dapat disangkal, bahwa kebudayaan Indonesia, termasuk seni musik, sangat kaya luar biasa. Namun apakah hal yang kita lakukan dalam satu aspek harus berarti mengabaikan aspek yang lain?

Saya akan mengambil contoh di bidang lain;
Seberapa bangganya Indonesia saat kita memenangkan olimpiade Fisika?
Seberapa bangganya Indonesia saat kita memenangkan Thomas/Uber Cup dalam bulutangkis?
Seberapa bersatunya Indonesia saat tim sepakbola kita menang berlaga melawan negara lain?

Apakah dengan memenangkan pertandingan bulutangkis kelas dunia, lantas berarti kita merendahkan sepak takraw?

Adalah suatu kebanggaan besar bila kita, sebagai bangsa, dapat mengekspos dan meng-'impor' kebudayaan khas kita secara internasional. Misalnya saat gamelan masuk dalam kurikulum studi musik di Belanda.
Akan tetapi ada banyak sekali bidang yang memang memiliki standar internasional...dan ada kalanya kita patut berkembang mengarah pada standar tersebut untuk kebanggaan dan menjadikannya salah satu 'aset' negara.

Perlu pula diingat, betapa industri kreatif adalah industri yang paling halus sekaligus paling efektif dalam mempromosikan Indonesia.
Contohnya, film Lord of The Rings, yang merupakan hasil shooting di New Zealand, dibuat oleh sutradara New Zealand (Peter Jackson), dan menggunakan berbagai fasilitas di New Zealand, kemudian menjadi ajang promosi New Zealand besar-besaran, hingga Peter Jackson pun mendapat penghargaan dari Perdana Menteri untuk mengharumkan nama negara.
Kenapa?
Karena semua orang bisa menonton film.
Semua orang bisa memahami film.
Di belahan dunia manapun.

Bukankah begitu pula halnya dengan musik?

Bayangkan efeknya, bila pemusik klasik dari Indonesia dapat memenangkan kompetisi internasional, atau misalnya orkestra Indonesia dapat bermain berdampingan dengan musisi klasik dunia. It's a lucrative possibility that many do not even consider. Alhasil, kemenangan dan keberhasilan musisi-musisi Indonesia di luar negeri pun, seakan tidak bergaung di Indonesia.

We have such a long way to go.
But if we never start, then we'll never be there.
Right? :)

Monday, January 16, 2012

Musik Klasik Untuk Semua

Tulisan ini saya buat karena 'tersentil' oleh sebuah pertanyaan dalam press-conference konser saya yang terakhir,

"Bagaimana tanggapan Anda terhadap anggapan bahwa musik klasik itu membosankan?"

Okeeeee.
Saya juga bingung harus mulai dari mana.

Definisi musik klasik sendiri, saya akan refer ke sini;
Classical music, strictly defined, means music produced in the Western world between 1750 and 1820. This music included opera, chamber music, choral pieces, and music requiring a full orchestra. To most, however, classical music refers to all of the above types of music within most time periods before the 20th century, and music created after 1900 that follows the style and tradition of the common practice period.
Begini;
Pertama,
musik klasik itu begitu luas. Sebegitu luasnya hingga saya yakin, there's always something for everybody. Contohnya, saya sendiri nggak suka banget sama lagu-lagu jaman Barok yang kebanyakan ornamen, kayaknya repot trus nggak cantik gitu. Nggak suka juga sama yang terlalu panjang sampai kayaknya nggak abis-abis. Bosan. Tapi saya suka banget Lieder atau tembang puitik, lagu-lagu yang dibuat dari puisi, terutama jaman Romantik, yang kadang bisa terdengar seperti lagu pop karena kordnya yang manis.

Yakin, nggak suka musik klasik? Atau, yakin nggak terpengaruh sama musik klasik?
Lagu Lullaby dari Brahms yang sering kita nyanyikan? (33 5 . 33 5 . 35 1 7 6 6 5 dst.)
Lagu Fuer Elise yang sering jadi bunyi bel rumah?
Lagu Figaro dari il Barbiere de Siviglia yang diputar di Tom and Jerry?
Ave Maria Bach?
Moonlight Sonata Beethoven?
Hallelujah Handel?
atau...
siapa yang nggak excited denger musik pembukaan film Star Wars?

Kedua,
musik klasik itu menurut saya bukan musiknya orang kaya, atau orang pintar saja. Musik klasik adalah musik yang bisa dinikmati oleh orang dengan pikiran terbuka alias open-minded. Karena kita harus mau sedikit memahami sebelum menikmati. So, kalo dateng ke sebuah konser dengan pikiran "Saya nggak mungkin suka", ya nggak mungkin bisa masuk.

Because there are some things that can only be expressed through music.
And sometimes to understand those things, we have to keep our other senses mute. Itu sebabnya dalam konser musik klasik, kita tidak boleh berisik, ngobrol, membunyikan handphone, dllsb. Bukan cuma untuk konsentrasi pemain, namun juga untuk menikmati pertunjukan itu sendiri.

Jadiiiii....

Saya bersikukuh bahwa "there's always a bit of something for everybody".
Musik klasik nggak selalu njelimet dan nggak bisa dipahami.
(yang sebetulnya bikin saya bingung juga kalo ada yang bilang gitu, bukannya musik jazz dan pop juga banyak yang njelimet dan bikin pusing ya?)

Just open your mind.
And enjoy.

N.B.: here are few things I think many people would enjoy. Feel free to open the links.
...I can't think...I'll add later. :p

Oh. And if you happen to wonder which period of classical music are you into, you might find it here --> Masterpiece - King's Singers :D


New Year Concert

I can't complain.
Like, really.

IT WAS SUCH A GREAT SHOW!!! *histeris*

*rewind*

Oke, rasanya penting untuk menceritakan proses konser ini sejak awal.
Saya nggak akan membahas soal lagu-lagu atau teknik...
because the whole process teaches me many things beyond the notes.
Kira-kira dua bulan yang lalu, teman saya, the harpist Rama Widi menelpon untuk menanyakan beberapa pertanyaan esensial. Setelah menjawab dan mengirimkan hal yang ia minta, ternyata kemudian saya mendapat berita bahwa...saya terpilih menjadi guest solist di New Year Concert yang menampilkan solis-solis dari Symphonia Vienna Orchestra.
*jantung pindah ke mata kaki*

Setelah proses pembantaian diri sendiri, tibalah hari di mana saya harus bertemu dengan para solis ini untuk berlatih. The moment I see them rehearse, I know this is going to be so interesting.

Pertama, untuk tampil di kedutaan Austria, mereka menyiapkan beberapa piece, salah satunya Schumann Klavierquintett (yang sukses menghantui saya hingga detik ini). Latihan yang cuma satu jam itu terlihat begitu intens, mereka membahas detail-detail yang penting dan saling memberi masukan.

Ketika akhirnya saya berkenalan dengan mereka (dengan posisi jantung di mata kaki), they are really really really nice! Full of positivity. Pada saat latihan untuk konser, mereka dengan rendah hati mau berdiskusi tentang berbagai hal dengan saya, seperti tempo dan penekanan, dan mau menerima hal-hal yang saya ajukan. Raffi (conductor) bicara langsung kepada saya secara privat mengenai detail yang ia inginkan terhadap beberapa not. I feel so respected! *norak*

Hal yang luar biasa dalam sesi latihan adalah bagaimana mereka semua mau berdiskusi dan bekerja keras untuk mencapai sebuah standar musik yang baik. Kadang diskusi menjadi tegang karena semua solis tsb (yang notabene adalah principal dari tiap alat) mau memberi masukan. Tapi perlu diingat, semua untuk musik. Bukan untuk ego.
Dan, setelah sesi latihan berakhir, tidak ada sedikit pun ketegangan. Mereka yang tadinya berdebat di sesi latihan, duduk bersama dan bercanda. PROFESIONAL. Diri mereka yang bekerja di dalam orkestra dipisahkan dari pertemanan mereka. This, I think need to be taken as example.

Next, the concert day.
I was so freaking nervous I could faint. REALLY!
I keep on texting my best friends and vocalizing like crazy.
I was shaking head to toe.
It was my first time singing with an orchestra,
my first time working with such well-known group,
my first time singing in that hall (and as Raffi told me; NO MICROPHONE!).

And this is the thing I want to share.
Sesaat sebelum masuk, saya dan Raffi berdampingan di backstage.
I whispered, "I am so nervous"
He asked me, smiling, "Why?"
And then he said, "Remember, you can always lean on us. The whole orchestra is there, for you. If anything ever happens, we have your back."

Kebayang nggak rasanya mendengar kata-kata itu dari the maestro?
Kebayang nggak betapa sebuah beban besar di pundak terasa lepas?

The moment we went on stage,
I feel that he's really there for me.
Setiap kali dia bernapas, dia memberi napas buat saya.
The whole hall seems silent, and I cannot think.
It's just me, the orchestra, with the music who connects us all, together with the audience. :)

*saya emang lebaaay tapi that's exactly how I felt*
After the concert, Raffi came to me and told me that yes, there are some parts where I should do this and that, but it's ok...I like the way he's being honest but still encouraging.
Dan syukurlah, tanggapan teman-teman ternyata positif banget! :)

The conversation behind the door before the concert will stay in my mind.
FOREVER.
Can you imagine how humble he is to say such thing?
Dan pada acara makan bersama berikutnya, saya pun berbicara dengan beberapa anggota orkestra dan mereka pun banyak memuji sekaligus memberi masukan, tanpa sedikit pun bernada nyinyir, menyindir, atau mengomeli saya.

Sekali lagi, we have to take this as an example.
Sering kita mengkritik orang dengan sikap merendahkan (yeah, me too), tapi mencontoh mereka, alangkah menyenangkannya bisa saling membangun dengan sikap positif!

Kenapa?

Because we are doing this for music and music only,
bukan karena saya solo, bukan karena kamu egois,
bukan karena dia cantik, bukan karena lebih gampang dimainkan begini...
Kita selayaknya punya standar dan patuh terhadap standar itu, bukannya menyesuaikan dengan keadaan. Bukannya pusing dengan gosip dan saling menjatuhkan.

Seringkali saya merasa (merasa nih ya), kita bermusik dengan kotor.
Kita semua seharusnya jadi instrumen. Musik itu harusnya berbicara langsung pada penonton, melalui kita. Bukan sebaliknya, kita jadi menggunakan musik untuk menampilkan ego kita kepada penonton. Belum lagi pikiran kita sering 'diracuni' dengan hal-hal yang tidak esensial, seperti ketidaksukaan terhadap teman dalam produksi itu, merasa solisnya tidak pantas, tidak suka lagunya, kostum, dan lain-lain...padahal, dari satu lagu saja, dibedah bertahun-tahun pun, masih selalu ada sesuatu yang bisa dilakukan.

Ah.
Kalau saya bahas, saya juga jadi racun dong ya.
Nanti aja, di postingan lain (tetep Ms.Complain). :p

Well, the point is, I am so honoured to work with them and to share our passion for music together, of course my performance was far from perfect,
but I hope everybody enjoys the concert...

See you in the next one! :)