Wednesday, October 5, 2011

Boyband Ala-Ala

Sungguh, belakangan ini saya benar-benar ga...ga...ga kuat sama kehadiran berbagai boyband dan girlband di Indonesia yang konsepnya meniru Korea habis-habisan. Jangankan melihat penampilan live mereka, denger lagunya aja saya udah cenat-cenut. Kepala saya yang beneran cenat-cenut, rasanya seperti sakit gigi.

Saya bener-bener nggak habis pikir sama isi kepala para petinggi industri musik Indonesia yang melahirkan hal-hal semacam itu.

Pertama, kenapa sih harus meniru?
Gini, menurut saya, orang-orang Korea itu mukanya mirip. Suaranya juga mirip. Jujur, saya sih nggak bisa bedain satu sama lainnya kecuali rambutnya dicat warna-warni. Dan saya yakin mereka juga sadar akan itu...makanya kemudian mereka pun SEKALIAN membuat konsep di mana gerakannya sama persis seperti robot, atau karakternya dibedakan secara total supaya bisa diingat.

Nah kalau Indonesia? Jelas dari Sabang sampai Merauke wajahnya beda, karakternya beda, suaranya pun beragam warna, luar biasa kaya. Lha kok malah mau seragam-seragaman macam Korea? Ya mana bisa. Sana gih sekalian wajib militer.

Kedua, kalaupun mau meniru, mbok ya yang total.
Andai nggak sanggup jadi saingan grup yang mau ditiru, minimal KW-Super lah. Masa targetnya KW-3?

Boyband atau girlband itu, menurut saya ada tiga poin yang harus dilihat. Satu; suara, atau minimal lagunya enak. Apa kabar dengan ABThree dan Rida Sita Dewi dan Trio Libels yang suaranya bagus-bagus dan lagunya enak-enak tanpa konsep yang berlebihan? Dua; jago nari. Lihatlah boyband Korea macam Super Junior, dance-nya bagus kan? Di Indonesia penari yang bagus pun banyak, tapi tetep, yang dipakai mereka yang nggak bisa nyanyi dan narinya juga biasa-biasa aja. Trus apanya yang dijual? Tiga; konsepnya. Ingat Spice Girls, yang sangat menjual karakter masing-masing personilnya? Dari Baby Spice hingga Scary Spice?

Sekarang, saya bener-bener nggak habis pikir, kalau ada boyband atau girlband yang musiknya nggak bagus-bagus amat, suaranya jelas pas-pasan (dan akhirnya kalau live selalu lipsync), narinya juga nggak bagus, terus image personilnya pun nggak kuat.
JADI YANG DIJUAL APANYA DONG?

dan yang paling menyebalkan...
KOK MASIH ADA YANG BELI?
*mulai histeris*

Kenapa sih Indonesia nggak kembali ke 'what we are best at'?
Kalau bikin boyband atau girlband, kenapalah nggak bikin yang beneran bisa nyanyi dan nari (dan saya yakin banget ada BANYAK orang yang nyanyi dan narinya bagus), atau dengan karakter yang unik-unik, paling nggak satu grup rasnya beda-beda gitu kek...dan image-nya pun dibentuk multikultur...

Lagu-lagunya pun nggak usah niru-niru Korea-Jepang lah, Indonesia itu punya ciri sendiri, Anggun C.Sasmi di belahan dunia lain sana aja masih masukin unsur etnik Indonesia supaya punya ciri khas, yang di sini kok malah ngambil yang punya negara lain....aneh.

Kalau euforia boyband-girlband KW-3 Korea ini bertahan lama, sungguh deh...
NGGAAAAAK KUAAAAAAAAAT....

*muter lagu ABThree semaleman*

Monday, September 5, 2011

Bila Agama Adalah Travel

I am clearly not the holiest man on the planet.
Not even close.
But I have thoughts about religion which I'd love to share with everybody today.


Menurut saya, agama itu seperti memilih travel ke Bandung.
Saya paling suka X-Trans.
Ada yang langganan Cipaganti.
Ada yang memilih Baraya.
Ada yang setia dari awal pada 4848.

Alasannya beragam.
Kursinya lebih nyaman.
Pelayanannya lebih baik.
ACnya lebih dingin.
Rutinitasnya sudah familiar.
Harganya lebih murah.
Atau karena teman-teman yang lain pasti naik travel itu.

Tujuannya sama;
Bandung.

Jalannya sama;
Cipularang.

Tak jarang orang berpindah travel karena merasa yang lain lebih nyaman,
merasa yang lain lebih aman,
trauma terhadap travel langganan,
atau karena temannya mengajak ke travel yang lain.

Demikian halnya dengan agama.

Tujuan kita semua adalah Tuhan.
Satu.
Sama.

Jalan yang kita tempuh?
Dunia.

Apa perlu kita menghina mobil travel yang tidak kita gunakan,
mencibir sopir dari travel lain,
dan bahkan mengatakan bahwa dengan travel yang itu pasti tidak sampai tujuan?
Atau lebih parah, menyabotase travel lain, sementara kita hanya penumpang?

Tidak bisakah kita semua beriringan,
hingga akhirnya berjumpa dan menceritakan pengalaman masing-masing
setibanya kita di sana?

*just wondering*

Friday, August 26, 2011

Meng-HARGA-i dan Di-HARGA-i

Saya selalu terdiam sejenak saat klien bertanya,
"Fee-nya berapa ya?"

Beragam variabel berseliweran di dalam kepala saya.
Namanya juga jual jasa.

Dari jaman dahulu pun, selalu ada pertimbangan mengapa sesuatu bisa memiliki harga sekian dan mengapa yang ini punya harga sekian. Dalam jual beli jasa, hal ini bisa menjadi rumit.
Tentu saja, 'harga pasar' itu sangat berpengaruh dalam penawaran. Dalam musik, di Eropa hal ini lebih jelas karena semakin tinggi pendidikan musik sang musisi pasti semakin tinggi harganya. Harga pasar penting untuk perbandingan.
Akan tetapi, apakah hanya variabel tersebut yang mempengaruhi harga?

Bila saya membuat sebuah acara dan saya suka seorang penyanyi yang suaranya biasa saja, dan saya mau membayar mahal untuk dia, lalu kenapa?
Bila menurut saya tempat acaranya terlalu jauh dan request lagunya terlalu banyak, lalu saya mau dibayar lebih mahal, lalu kenapa?

Yang saya heran adalah, banyak sesama teman musisi yang bukannya bertanya, "Mengapa ia bisa dibayar lebih mahal?" malah mencibir, mengatakan 'tidak pantas' dibayar sejumlah itu.

Tentu saja dari pertanyaan itu bisa tampil berbagai jawaban, dari yang pantas sampai tidak pantas. Jujur sajalah, kita semua butuh uang. Kita semua mau dibayar mahal.
Kita semua harus sadar; ada orang yang mau membayar mahal untuk kualitas yang baik, dan bila kita menampilkan kualitas yang baik, kita pantas dibayar.
Bisa saja memang sang musisi punya publikasi yang baik. Manager yang baik. Konsep show yang menarik. Kepribadian yang menyenangkan. Kemampuan mengambil hati sang klien.
*note: menipu sebagai lulusan akademi tertentu atau pernah belajar di negara mana nggak dihitung ya, saya nggak ikutkan tukang tipu di sini*

Kenapa sih nggak mau tanya dulu, kenapa bisa dibayar segitu?
Apa yang dia punya yang saya nggak punya?
Karena saat sudah masuk ke industri,
Kesempurnaan musik sudah mutlak, tapi bisnis ya bisnis.

Dan siapa yang sebenarnya bisa menentukan harga? Ya musisinya.
Tentu saja selalu ada orang yang dibayar lebih dari kualitasnya, selalu ada penipu, tapi ada pula orang-orang yang patut dibayar lebih karena kerja kerasnya.
Bila kita mampu meng-HARGA-i pekerjaan kita sendiri, bila kita tahu kita bermain di kelas mana, seberapa kemampuan kita, tidak melulu kita harus menunggu di-HARGA-i orang lain.

*Feeling underpaid now?* :p

Sunday, May 15, 2011

Hidup Itu Pilihan

Beberapa minggu ini saya dihadapkan pada pilihan2 sulit, terutama menyangkut karir sebagai musisi, tepatnya penyanyi klasik.

Pilihan yang paling berat adalah saat saya harus memilih menjadi solis di sebuah konser dengan sebuah paduan suara, atau menjadi satu dari 60 backing vocal untuk seorang penyanyi kelas dunia yang akan mengadakan konser di Jakarta.

Menjadi backing vocal tsb membutuhkan jadwal yg kosong total selama 5 hari, sementara saya memiliki 15 murid dalam kurun waktu tersebut. Kemudian, dan terutama, saya telah menyanggupi menjadi solis di konser paduan suara tersebut jauh hari sebelumnya. Hal tersebut tidak mungkin saya batalkan. Kenyataannya, ternyata ada orang2 yang bersedia mengorbankan komitmennya (dan orang lain) demi menjadi backing vocal tsb.

Cara pikir orang2 memang berbeda (dan boleh berbeda), maka di sini saya hanya ingin membagikan pandangan saya. Hal2 prinsip yang saya usahakan untuk pegang terus, walau kadang tergelincir.

Saat kita memutuskan untuk berkomitmen dalam sebuah acara, ada konsekuensi yang tidak mudah. Mengatakan iya untuk sebuah konser sama dengan mengiyakan juga jadwal latihan yang tentu menghabiskan waktu, energi, dan biaya.

Kalau alasannya karena ada yang bayarannya lebih besar, coba pikir sebaliknya dari awal. Kenapa mengatakan iya pada acara yang terlalu merugikan secara materiil? Kenapa tidak mencoba untuk mendapatkan uang transpor sejak awal?
Kalau alasannya karena skala acara yang lebih besar, coba pikir sebaliknya, kalau acara kecil, bukankah kedatangan kita lebih berarti?

ADA BEDANYA; KESEMPATAN DAN GODAAN.

Apakah dengan mengambil semua pekerjaan yang ada di depan mata, dengan semuanya setengah2 (terlambat latihan yang ini, tidak siap konser yang itu, tidak hapal acara yang ini, dllsb), itu membuat kita menjadi orang yang lebih baik? Lebih banyak belajar? Atau hanya serakah?

Semua bersumber dari prioritas.

Kalau prioritasnya adalah untuk pengalaman, ikutlah berpartisipasi dalam sebanyak mungkin acara yang bervariasi, dengan repertoire yang bervariasi pula.
Kalau prioritasnya adalah uang, bisa dipastikan akan selalu memilih berdasar materi, perhitungan, walau kadang tanpa peduli kerugian orang lain.
Kalau prioritasnya untuk belajar, uang dan waktu tidak akan menjadi masalah besar.
Kalau prioritasnya untuk kualitas, maka ada pertimbangan waktu, stamina, dan kemampuan.

NAH!
Masalahnya, banyak orang TIDAK PUNYA PRIORITAS JANGKA PANJANG.
Tidak punya bayangan ingin menjadi orang seperti apa. Tidak punya visi. Menjalani hidup apa adanya dan memutuskan berdasarkan kebutuhan jangka pendek.

Hidup itu memang pilihan. Memiliki visi juga pilihan.
Prioritas yang berbenturan akan selalu ada dalam hidup, jadi seberapa kuat kita memegang prioritas kita, ya itu juga pilihan.
Sejujurnya saya sih belum lama ini juga menentukan prioritas jangka panjang.
Itupun sudah mengalami banyak benturan. :p

Intinya, menurut saya, kita juga memilih kok siapa kita.
Kita yang memilih cara kerja kita.
Kita yang memilih kita mau dibayar berapa.
Kita yang memilih kita pantas dibayar berapa.
Kita yang memilih untuk apa waktu kita akan digunakan.
Kita yang memilih untuk apa kita hidup.

Udah ah!
Selamat memilih! :p

Sunday, March 20, 2011

Wedding Singer #1: Church

Saya nggak ngerti kenapa penyanyi untuk pernikahan di Gereja dibayar lebih murah daripada penyanyi di resepsi.

Pertama, lagunya jelas banyak. Tak kalah banyak dengan resepsi. Minimal delapan.

Kedua, tingkat kesulitan lagunya pun lumayan tinggi, belum lagi untuk choir juga butuh kecermatan dan skill yang beda dari nyanyi sendirian.

Ketiga, butuh kesigapan yang tinggi, memotong lagu di tempat yang tepat untuk menjaga kelangsungan misa dllsb...

Sejujurnya saya nggak terima kalau dikatakan bahwa menyanyi di Gereja harusnya tidak dibayar. Kenapa? Di Eropa semua musisi digaji tuh, bahkan untuk misa biasa.

Sekarang gini, kalau dibilang menyanyi itu harusnya mengembalikan talenta pada Tuhan, saya sih setuju2 saja, untuk misa biasa (di mana semua orang nggak dibayar). Tapi untuk pernikahan? Siapa yang mau pakai penyanyi di dalam misa tersebut? Harusnya itu adalah persembahan dari mempelai untuk gereja, bukannya pelayanan para musisinya.

Tentu saja yg menganggap pelayanan pun nggak salah, tapi untuk saya sih porsinya lebih banyak menyumbang pengantin. Oleh sebab itu, saya nggak suka kalau musisi dalam misa pernikahan dibayar kecil.

Well, susah lah...

*complain tanpa solusi*