Monday, January 23, 2012

Bermain Internasional

Suatu hari saya pernah mendengar kisah salah seorang konduktor besar di Indonesia, mengenai usahanya memajukan musik klasik Indonesia. Saat beliau berhadapan dengan para petinggi-petinggi kita, seringkali jawabannya kira-kira,
"Buat apa, toh kita punya musik daerah sendiri yang hebat dan perlu dilestarikan."

Dari sinilah pemikiran saya yang 'kepo' berkembang.

Seringkali saya merasa, bangsa kita ini menempatkan ego dan gengsi tidak pada tempatnya. Tidak dapat disangkal, bahwa kebudayaan Indonesia, termasuk seni musik, sangat kaya luar biasa. Namun apakah hal yang kita lakukan dalam satu aspek harus berarti mengabaikan aspek yang lain?

Saya akan mengambil contoh di bidang lain;
Seberapa bangganya Indonesia saat kita memenangkan olimpiade Fisika?
Seberapa bangganya Indonesia saat kita memenangkan Thomas/Uber Cup dalam bulutangkis?
Seberapa bersatunya Indonesia saat tim sepakbola kita menang berlaga melawan negara lain?

Apakah dengan memenangkan pertandingan bulutangkis kelas dunia, lantas berarti kita merendahkan sepak takraw?

Adalah suatu kebanggaan besar bila kita, sebagai bangsa, dapat mengekspos dan meng-'impor' kebudayaan khas kita secara internasional. Misalnya saat gamelan masuk dalam kurikulum studi musik di Belanda.
Akan tetapi ada banyak sekali bidang yang memang memiliki standar internasional...dan ada kalanya kita patut berkembang mengarah pada standar tersebut untuk kebanggaan dan menjadikannya salah satu 'aset' negara.

Perlu pula diingat, betapa industri kreatif adalah industri yang paling halus sekaligus paling efektif dalam mempromosikan Indonesia.
Contohnya, film Lord of The Rings, yang merupakan hasil shooting di New Zealand, dibuat oleh sutradara New Zealand (Peter Jackson), dan menggunakan berbagai fasilitas di New Zealand, kemudian menjadi ajang promosi New Zealand besar-besaran, hingga Peter Jackson pun mendapat penghargaan dari Perdana Menteri untuk mengharumkan nama negara.
Kenapa?
Karena semua orang bisa menonton film.
Semua orang bisa memahami film.
Di belahan dunia manapun.

Bukankah begitu pula halnya dengan musik?

Bayangkan efeknya, bila pemusik klasik dari Indonesia dapat memenangkan kompetisi internasional, atau misalnya orkestra Indonesia dapat bermain berdampingan dengan musisi klasik dunia. It's a lucrative possibility that many do not even consider. Alhasil, kemenangan dan keberhasilan musisi-musisi Indonesia di luar negeri pun, seakan tidak bergaung di Indonesia.

We have such a long way to go.
But if we never start, then we'll never be there.
Right? :)

Monday, January 16, 2012

Musik Klasik Untuk Semua

Tulisan ini saya buat karena 'tersentil' oleh sebuah pertanyaan dalam press-conference konser saya yang terakhir,

"Bagaimana tanggapan Anda terhadap anggapan bahwa musik klasik itu membosankan?"

Okeeeee.
Saya juga bingung harus mulai dari mana.

Definisi musik klasik sendiri, saya akan refer ke sini;
Classical music, strictly defined, means music produced in the Western world between 1750 and 1820. This music included opera, chamber music, choral pieces, and music requiring a full orchestra. To most, however, classical music refers to all of the above types of music within most time periods before the 20th century, and music created after 1900 that follows the style and tradition of the common practice period.
Begini;
Pertama,
musik klasik itu begitu luas. Sebegitu luasnya hingga saya yakin, there's always something for everybody. Contohnya, saya sendiri nggak suka banget sama lagu-lagu jaman Barok yang kebanyakan ornamen, kayaknya repot trus nggak cantik gitu. Nggak suka juga sama yang terlalu panjang sampai kayaknya nggak abis-abis. Bosan. Tapi saya suka banget Lieder atau tembang puitik, lagu-lagu yang dibuat dari puisi, terutama jaman Romantik, yang kadang bisa terdengar seperti lagu pop karena kordnya yang manis.

Yakin, nggak suka musik klasik? Atau, yakin nggak terpengaruh sama musik klasik?
Lagu Lullaby dari Brahms yang sering kita nyanyikan? (33 5 . 33 5 . 35 1 7 6 6 5 dst.)
Lagu Fuer Elise yang sering jadi bunyi bel rumah?
Lagu Figaro dari il Barbiere de Siviglia yang diputar di Tom and Jerry?
Ave Maria Bach?
Moonlight Sonata Beethoven?
Hallelujah Handel?
atau...
siapa yang nggak excited denger musik pembukaan film Star Wars?

Kedua,
musik klasik itu menurut saya bukan musiknya orang kaya, atau orang pintar saja. Musik klasik adalah musik yang bisa dinikmati oleh orang dengan pikiran terbuka alias open-minded. Karena kita harus mau sedikit memahami sebelum menikmati. So, kalo dateng ke sebuah konser dengan pikiran "Saya nggak mungkin suka", ya nggak mungkin bisa masuk.

Because there are some things that can only be expressed through music.
And sometimes to understand those things, we have to keep our other senses mute. Itu sebabnya dalam konser musik klasik, kita tidak boleh berisik, ngobrol, membunyikan handphone, dllsb. Bukan cuma untuk konsentrasi pemain, namun juga untuk menikmati pertunjukan itu sendiri.

Jadiiiii....

Saya bersikukuh bahwa "there's always a bit of something for everybody".
Musik klasik nggak selalu njelimet dan nggak bisa dipahami.
(yang sebetulnya bikin saya bingung juga kalo ada yang bilang gitu, bukannya musik jazz dan pop juga banyak yang njelimet dan bikin pusing ya?)

Just open your mind.
And enjoy.

N.B.: here are few things I think many people would enjoy. Feel free to open the links.
...I can't think...I'll add later. :p

Oh. And if you happen to wonder which period of classical music are you into, you might find it here --> Masterpiece - King's Singers :D


New Year Concert

I can't complain.
Like, really.

IT WAS SUCH A GREAT SHOW!!! *histeris*

*rewind*

Oke, rasanya penting untuk menceritakan proses konser ini sejak awal.
Saya nggak akan membahas soal lagu-lagu atau teknik...
because the whole process teaches me many things beyond the notes.
Kira-kira dua bulan yang lalu, teman saya, the harpist Rama Widi menelpon untuk menanyakan beberapa pertanyaan esensial. Setelah menjawab dan mengirimkan hal yang ia minta, ternyata kemudian saya mendapat berita bahwa...saya terpilih menjadi guest solist di New Year Concert yang menampilkan solis-solis dari Symphonia Vienna Orchestra.
*jantung pindah ke mata kaki*

Setelah proses pembantaian diri sendiri, tibalah hari di mana saya harus bertemu dengan para solis ini untuk berlatih. The moment I see them rehearse, I know this is going to be so interesting.

Pertama, untuk tampil di kedutaan Austria, mereka menyiapkan beberapa piece, salah satunya Schumann Klavierquintett (yang sukses menghantui saya hingga detik ini). Latihan yang cuma satu jam itu terlihat begitu intens, mereka membahas detail-detail yang penting dan saling memberi masukan.

Ketika akhirnya saya berkenalan dengan mereka (dengan posisi jantung di mata kaki), they are really really really nice! Full of positivity. Pada saat latihan untuk konser, mereka dengan rendah hati mau berdiskusi tentang berbagai hal dengan saya, seperti tempo dan penekanan, dan mau menerima hal-hal yang saya ajukan. Raffi (conductor) bicara langsung kepada saya secara privat mengenai detail yang ia inginkan terhadap beberapa not. I feel so respected! *norak*

Hal yang luar biasa dalam sesi latihan adalah bagaimana mereka semua mau berdiskusi dan bekerja keras untuk mencapai sebuah standar musik yang baik. Kadang diskusi menjadi tegang karena semua solis tsb (yang notabene adalah principal dari tiap alat) mau memberi masukan. Tapi perlu diingat, semua untuk musik. Bukan untuk ego.
Dan, setelah sesi latihan berakhir, tidak ada sedikit pun ketegangan. Mereka yang tadinya berdebat di sesi latihan, duduk bersama dan bercanda. PROFESIONAL. Diri mereka yang bekerja di dalam orkestra dipisahkan dari pertemanan mereka. This, I think need to be taken as example.

Next, the concert day.
I was so freaking nervous I could faint. REALLY!
I keep on texting my best friends and vocalizing like crazy.
I was shaking head to toe.
It was my first time singing with an orchestra,
my first time working with such well-known group,
my first time singing in that hall (and as Raffi told me; NO MICROPHONE!).

And this is the thing I want to share.
Sesaat sebelum masuk, saya dan Raffi berdampingan di backstage.
I whispered, "I am so nervous"
He asked me, smiling, "Why?"
And then he said, "Remember, you can always lean on us. The whole orchestra is there, for you. If anything ever happens, we have your back."

Kebayang nggak rasanya mendengar kata-kata itu dari the maestro?
Kebayang nggak betapa sebuah beban besar di pundak terasa lepas?

The moment we went on stage,
I feel that he's really there for me.
Setiap kali dia bernapas, dia memberi napas buat saya.
The whole hall seems silent, and I cannot think.
It's just me, the orchestra, with the music who connects us all, together with the audience. :)

*saya emang lebaaay tapi that's exactly how I felt*
After the concert, Raffi came to me and told me that yes, there are some parts where I should do this and that, but it's ok...I like the way he's being honest but still encouraging.
Dan syukurlah, tanggapan teman-teman ternyata positif banget! :)

The conversation behind the door before the concert will stay in my mind.
FOREVER.
Can you imagine how humble he is to say such thing?
Dan pada acara makan bersama berikutnya, saya pun berbicara dengan beberapa anggota orkestra dan mereka pun banyak memuji sekaligus memberi masukan, tanpa sedikit pun bernada nyinyir, menyindir, atau mengomeli saya.

Sekali lagi, we have to take this as an example.
Sering kita mengkritik orang dengan sikap merendahkan (yeah, me too), tapi mencontoh mereka, alangkah menyenangkannya bisa saling membangun dengan sikap positif!

Kenapa?

Because we are doing this for music and music only,
bukan karena saya solo, bukan karena kamu egois,
bukan karena dia cantik, bukan karena lebih gampang dimainkan begini...
Kita selayaknya punya standar dan patuh terhadap standar itu, bukannya menyesuaikan dengan keadaan. Bukannya pusing dengan gosip dan saling menjatuhkan.

Seringkali saya merasa (merasa nih ya), kita bermusik dengan kotor.
Kita semua seharusnya jadi instrumen. Musik itu harusnya berbicara langsung pada penonton, melalui kita. Bukan sebaliknya, kita jadi menggunakan musik untuk menampilkan ego kita kepada penonton. Belum lagi pikiran kita sering 'diracuni' dengan hal-hal yang tidak esensial, seperti ketidaksukaan terhadap teman dalam produksi itu, merasa solisnya tidak pantas, tidak suka lagunya, kostum, dan lain-lain...padahal, dari satu lagu saja, dibedah bertahun-tahun pun, masih selalu ada sesuatu yang bisa dilakukan.

Ah.
Kalau saya bahas, saya juga jadi racun dong ya.
Nanti aja, di postingan lain (tetep Ms.Complain). :p

Well, the point is, I am so honoured to work with them and to share our passion for music together, of course my performance was far from perfect,
but I hope everybody enjoys the concert...

See you in the next one! :)