Thursday, December 30, 2010

Partner = Part, not All of Your Life

Puji Tuhan, saya belum pernah mengalami kekerasan dalam hubungan. Tekanan ringan, pada umumnya. Tapi saya banyak melihat prilaku abusif dalam hubungan teman2 saya yang relatif muda (20-25 tahun), dan saya banyak merasa khawatir.

Belakangan ini saya suka menonton video klip "I Love The Way You Lie" (Rihanna&Eminem). Saya pun langsung mengingat teman2 saya yang, menurut saya, di-abuse oleh pasangannya secara fisik maupun mental. Hal yang paling sulit dari fenomena ini bukanlah kekerasan yg berlangsung, tapi pengakuan dari si korban.

Contoh pertama, teman saya, perempuan, calon dokter, dulu paling anti tergantung pada laki-laki. Suatu hari ia memiliki pasangan yg luar biasa posesif, contohnya tidak memperbolehkan teman saya memegang handphonenya sendiri, menghitung pulsa yg dipakai teman saya (bila berhubungan dgn org lain, termasuk dengan teman2 wanitanya juga), marah bila teman saya ini dihubungi orang lain. Bahkan kadang ibu teman saya ini pun tidak bisa menghubungi anaknya.

Contoh kedua, teman saya, perempuan, psikolog, independen, memiliki pasangan yang tidak suka teman saya memiliki kegiatan di hari sabtu dan minggu, karena menurutnya itu harus menjadi hari berduaan, sementara teman saya ini juga adalah penyanyi, yg notabene bekerja dan berlatih saat akhir minggu. Mereka bisa bertengkar di depan umum, di telpon hingga pagi, dan teman saya ini bisa membatalkan pekerjaannya hanya karena pasangannya menyuruh tanpa alasan.

Contoh ketiga, teman saya, laki-laki, memiliki pasangan yg luar biasa kecurigaannya. Teman saya ini juga penyanyi dan sering berkutat dengan industri musik yang secara waktu sering mulur dan tidak teratur. Pasangannya yg merasa tahu dunia profesional pun tidak menyukainya, dan menyuruhnya berhenti, lalu mempermasalahkan dunia kerjanya. Semua yg dilakukan teman saya dianggap salah, selalu salah, dan sedikit saja tidak dibalas smsnya menganggap teman saya selingkuh.

KENAPA SIH KALIAN MASIH MAU PACARAN SAMA ORANG MACEM BEGITU???

Oke, saya pun berusaha cari tahu.
Dari jawaban mereka, cuma ada satu garis merah.

KALAU LAGI BAIK, DIA BAIK SEKALI.
Romantis.
Mau melakukan apapun untuk saya.
Mencintai saya.

.................................
Kadang saya ingin berteriak,
pada nonton ADA APA DENGAN CINTA nggak sih?
Semua pelaku tindakan abusif terhadap pasangan itu bisa sujud menyembah dan menangis setelah melakukan kekerasan, minta maaf, memberi hadiah, tapi apa berhenti?
NGGAK!!!

Apa kalian pikir tindakan marah berlebihan, kecurigaan yg tidak masuk akal, semua itu membuktikan bahwa dia cinta setengah mati dan tidak akan pergi?
Oke, itu satu kemungkinan.
Kemungkinan lain?
DIA SAKIT JIWA!!! COME ON!!!

Contoh berikutnya, teman saya sudah pacaran 6 tahun dgn lelaki posesif luar biasa. Teman saya tak jarang menyakiti dirinya sendiri saat bertengkar, dan pacarnya membiarkannya. Pacarnya ini menjanjikan akan menikahinya pada suatu waktu, namun tiba2 pacarnya itu pergi menghilang, dan tiba2 telah menikah dengan wanita lain.

Memang, seru rasanya bertengkar habis2an bertolak dari rasa sayang.
TAPI SEBATAS APA?
Kalau sampai mengganggu aktivitas, mengganggu pekerjaan, mengganggu keluarga, apa harus dipertahankan?

CINTA ITU BUTA, TAPI ANDA KAN PUNYA MATA!!!

Cinta, bila memang cinta sebenar-benarnya, harusnya membuat kita jadi orang yang lebih baik. Bukan menjadi orang yang penuh ketakutan! Ya, tentu saja saat memiliki pasangan, kita harus lebih aware terhadap komitmen, ada keterbatasan tertentu, tapi kita cuma dimiliki utuh oleh Tuhan, bukan pasangan.

Pasangan abusif akan memisahkan Anda dari orang-orang terdekat. Jaga hubungan dengan mereka yang mengenal Anda sebelum ‘dia’. Dan jika mereka mulai berkata, ‘kami mengkhawatirkan kamu’, mulailah berintrospeksi. Mungkin ada yang tidak sehat dalam hubungan Anda.
Ingat. Saat hubungan itu mulai mengganggu, pikir ulang,
ini karena CINTA, apa karena dia SAKIT JIWA?

Sunday, December 19, 2010

Bebek Aja Bisa Ngantri!

Mengantri.

Saya benar-benar nggak habis pikir bila ada orang dewasa yang tidak bisa mengantri.
Sesulit apa sih mengantri?

Kemarin saya sedang mengantri taksi di sebuah mall terkemuka di Jakarta, yang diakui sebagai mall utk strata A, alias elit. Seorang ibu-ibu yang terlihat berpendidikan menyelak saya.
Iya, menyelak.
Menyerobot.
Menyeruak.

Saya punya beberapa pilihan yang terbersit dalam benak saya kemarin:
1. Berteriak di telinganya bahwa saya juga sedang antri
2. Memanggil satpam dan mengatakan bahwa si ibu tersebut menyerobot
3. Mendorongnya jatuh sambil pura2 tidak tahu apa-apa

Akhirnya setelah melakukan meditasi singkat (lebay), saya pun bertanya,
"Ibu ngantri?"
"Iya."
"Saya juga Bu, dari tadi."

Ia diam saja dan tetap mengantri di depan saya.
Selama 20 menit mengantri, saya mengantri kira2 1 sentimeter di belakangnya (kepala saya ada di atas pundaknya), dan menelpon teman saya dan berkata, "Oke, tunggu ya lagi antri taksi, maklum ada juga orang yang NGGAK BISA NGANTRI!" --> kata2 yg berhuruf kapital disebutkan dengan volume kira2 10x lipat.

Bukan hanya sekali ini, saya pernah bertengkar berkali2 hanya karena antrian. Biasanya bila di counter makan, saya hanya akan bertanya pada Kasir,
"Mbak, ini ngantrinya dari kiri, kanan, depan, belakang, atas atau bawah? Bener saya ngantri dari sini? Atau dia yang bener?"
Biasanya Kasir akan minta maaf dan orang yang menyelak akan tahu diri.
Tapi jangan sedih! Pernah sekali ada perempuan yang malah bersikap galak,
"Ya udah sih duluan aja!"
Bisa dibayangkan apa yang terjadi selanjutnya.
Dalam situasi seperti ini, saya tidak pernah mau kalah.
Dan saya tidak kalah.
Pokoknya singkat cerita, dia mendapat pelajarannya.
Detailnya disensor aja, kadang terlalu jahat.

Bukankah sejak kecil, di sekolah manapun, kita diajarkan yang namanya BARIS-BERBARIS?
Bukankah antri adalah suatu hal yang paling wajar yang bisa kita lakukan sebagai orang dewasa yang terdidik?
Di halte busway, di food court, di antrian taksi, kenapa sih selalu ada orang yang suka MENYEROBOT?

Saya hanya akan mendahulukan antrian bagi ibu hamil dan orang cacat.
Bukan berarti karena Anda capek, lalu Anda boleh menyerobot antrian seperti orang tolol yang tidak punya etika. Bukan berarti karena saya muda, lalu saya selalu harus memaklumi ketidakteraturan yang dilakukan orang yang lebih tua.

EGOIS!
Itu satu-satunya alasan mengapa orang menyerobot.
Semua orang terburu-buru.
Semua orang ingin cepat.
Semua orang lelah.
Ketidakmauan untuk menghargai juga tenaga dan waktu orang lain itu egois!
Cuma itu! Nggak ribet, nggak pandang harta atau pendidikan!

Beneran deh,
BEBEK AJA BISA NGANTRI!

Sunday, November 7, 2010

Budaya Senioritas

Saya termasuk salah saatu orang yang beruntung; pada masa SMA, saya tidak mengalami prilaku bullying. Tapi bagaimanapun, senioritas yang sudah mendarah daging dan sering berujung pada bullying sering saya temui dalam kehidupan sehari-hari. Saya pun sempat mengalaminya di masa SMP. Bukan rahasia lagi, bahwa senioritas adalah hal yang penting dalam bersosialisasi. Sisi positifnya, kita dididik untuk lebih menghargai orang yang memiliki pengalaman lebih dari kita (bukankah itu esensi dari ‘senior’?). Sisi buruknya? Banyak senior yang menyalahgunakan senioritas tersebut.

Apa sih yang membuat seorang senior berharga? Di mata saya sih, Cuma satu; pengalamannya. Senior bukan berarti seseorang yang pasti lebih pintar, lebih baik, dan lebih berwawasan dari kita. Mungkin, tapi tidak mutlak. Hal yang mutlak adalah; dia sudah lebih dulu mengecap hal-hal yang belum kita lalui, dn memecahkan masalah-masalah yang bahkan belum kita bayangkan. Jadi dengan esensi senioritas tersebut, hal apa yang layaknya dilakukan senior kepada junior? Menurut saya juga Cuma satu yang perlu; BERBAGI.

Masalahnya, saya sering mengamati bahwa senioritas di Indonesia, baik di sekolah maupun di lingkungan sehari-hari, kadang tidak bertolak dari rasa berbagi. Lebih kepada keinginan menindas dan membuat lelucon dari orang-orang yang tidak bisa melawan. Senioritas, atau tirani?

Saya sempat mengalami senioritas dengan melakukan kegiatan merayu tiang, bernyanyi pada pintu, dimarahi, dibuat lelucon. Yang saya sayangkan adalah; seringkali saya tidak diberitahu esensi dari perbuatan tersebut. Teman-teman saya yang tergabung dalam sebuah teater pernah menjelaskan, ada sebuah ritual untuk berjalan mengelilingi sekolah sambil memakai kostum hewan dan berbunyi seperti hewan. Kegiatan yang memalukan, tapi esensinya jelas, untuk melatih mental agar tiap pemain tidak canggung dalam melakukan gerak tubuh dan ekspresi dalam karakter yang dimainkan. Saya juga pernah mengalami kegiatan harus melawak setelah dimarahi habis-habisan. Esensinya; untuk bisa bersikap positif dan kreatif di bawah tekanan. Ketidakberdasaran senioritas dalam kasus2 lain mungkin juga hanya jadi rangkaian dari siklus bodoh yang tak kunjung dipecah. Karena tadinya ditindas, seseorang pun menggunakan itu untuk menindas juniornya. Tidak peduli apa esensinya. Rasa tidak enak, rasa kesal yang tadinya tidak terungkap dibalaskan kepada juniornya; bukannya malah berhenti dan mencoba agar juniornya tidak merasakan hal yang sama.

Sialnya, bukan hanya di lingkungan sekolah; senioritas salah kaprah ini juga terjadi dalam dunia kerja. Sebuah sistem yang tidak menyenangkan untuk seseorang malah dilestarikan, bukan dihentikan. “Tradisi” dijadikan alasan klise untuk melakukan tekanan tanpa alasan. Sering muncul kalimat, “Ah, dulu gue juga digituin. Lebih parah, malah.” Tapi apa perlu? Ya, kadang perlu. Kadang tidak. Keperluan itu harus sangat diwaspadai, karena ada satu hal yang penting juga saat kita berlaku sebagai senior; TANGGUNG JAWAB. Tanggung jawab mendidik junior dan tanggung jawab memberi contoh yang baik (ing ngarso sung tulodo). Karena senioritas yang bodoh akan cenderung menelurkan junior yang bodoh dan siklus buruk yang tak kunjung berakhir.

Jadi, sudahkah kita jadi senior yang baik?
Ataukah kita hanya manifestasi dari senioritas balas dendam seperti yang terjadi dalam kasus STPDN?

Thursday, October 28, 2010

Where art thou, Gentleman?

If I should choose one thing this country is definitely lacking of; it would be "gentlemen".

Beberapa saat yang lalu saya menghabiskan waktu bersama sekumpulan mahasiswa yang berlomba di luar Jakarta, dan berkesempatan mengamati tingkah laku mereka sehari-hari.
Tanpa disangka, ada beberapa lelaki yang langsung mendapat perhatian saya, because they act like a real man. Mau membantu membawakan barang saat beberapa perempuan kelelahan, mau mengerjakan hal-hal yang membutuhkan banyak tenaga, memberikan tempat duduk pada wanita, sampai menyalakan rokok seorang wanita. Dan bukan dari grup itu saja, lucunya, saya pun menemukannya pada beberapa personil grup lain yang umumnya berasal dari daerah di luar Jakarta.

Saya pun mulai memeras otak, di Jakarta, hal semacam itu jarang sekali terjadi. Bahkan bisa dihitung dengan jari. Mungkin karena saya bukan perempuan cantik yang langsung bisa menarik perhatian. Cuma satu kali (seumur hidup) saya diberi tempat duduk oleh seorang laki-laki di Trans Jakarta. Cuma 2 orang lelaki non-gay yang bisa saya ingat pernah mau membawakan barang saya saat saya merasa keberatan. Dan seringkali situasi di mana saya dan teman-teman merasa 'kekurangan tenaga lelaki' itu adalah dalam lingkungan lelaki berpendidikan, di kampus, mall, pesta, dllsb. Kadang malah yang membantu adalah teman-teman yang gay (so, boys, don't hate gays, you all never act like a man yourselves!)

Harus diakui, bagaimanapun perempuan berpartisipasi dalam kesetaraan gender, tidak ada perempuan yang tidak suka diperlakukan dengan baik dan penuh hormat layaknya film-film hitam putih era tahun 60-an. Dan hal-hal itu dimulai dari yang sederhana.

Kadang saya mendengar pertanyaan laki-laki, kenapa yah nggak dapet-dapet pacar?
I can answer that very quickly; BE A MAN!
SIMPLY A MAN!

Beri tempat duduk untuk perempuan di bis.
Bawakan barang si perempuan kalau ia terlihat kesusahan.
Antarkan teman perempuan pulang bila sudah malam.
Jangan gunakan kata kasar saat berbicara dengan perempuan.
Jangan bercanda berbau seks.

Apa sih susahnya?

Semua itu kan cuma berawal dari kepekaan seorang lelaki untuk menolong!

Apa memang sudah tidak ada lagi role model yang tepat untuk menjadi seorang gentleman?
I personally hate the way rappers and punks and rockstars look and behave on TV.
The only people shown having clean-cut outfits and nice attitude are gays.

The truth is; there are still gentlemen out there.
And the girls are CRAVING for them!

So, where are you all?
T____T

Sunday, October 10, 2010

TV: Tak Kenal Kata Bosan (mungkin)

Mengapa, oh mengapa, setiap kali ada acara di televisi yang bagus (ITU SAJA SUDAH JARANG, BUKAN?), acara tersebut diulur-ulur, dipanjangkan sepanjang-panjangnya, ditahan terus, bahkan sampai mengada-ngada?

Dearest Television people,
apa Anda sekalian tidak mengenal kata "BOSAN"???

bo·san a sudah tidak suka lagi krn sudah terlalu sering atau banyak; jemu:
mem·bo·san·kan v menyebabkan atau menjadikan bosan; menjemukan

Contoh yang paling baru adalah Indonesia Mencari Bakat dari TransTV (there, I'm saying it out loud). Awalnya, saya memang berlaku skeptis terhadap acara tv apapun di Indonesia, namun kemudian saya (terpaksa) menonton acara ini karena seorang teman dekat menjadi kontestannya.

Unexpectedly, saya sangat menyukai acara ini!
Juri-jurinya bersikap profesional, acaranya dikemas dengan menarik, para kontestannya memiliki bakat-bakat yang unik dan berbeda satu sama lain, host-nya juga ditampilkan dengan image yang tepat (bergaya seperti Ryan Seacrest dan cukup sukses), dan jalinan acaranya sendiri tight, cepat, jelas dan akurat.

Ternyata, saya bukan satu-satunya pemirsa yang menggemari acara ini. IMB pun menjadi hits, setiap ada peserta yang tereliminasi, muncul di trending topic Twitter. Semua menjadi tegang saat-saat eliminasi.

Bila acara mencapai kesuksesan semacam ini di Amerika, ada beberapa cara cerdas untuk menyikapinya, misalnya melelang slot iklan yang ada. Tingkat popularitas acara dijadikan bargaining position untuk membuat sponsor berlomba mengiklankan produknya pada slot waktu tersebut dengan harga mahal. Hal ini juga berimbas pada pengisi acara yang kemudian juga punya bargaining position untuk menaikkan gaji.

Tapi apa yang dilakukan di Indonesia?
1. memperpanjang durasi acara
Slot iklan ditambah (bukan dilelang!), durasi pun diperpanjang. Tadinya 1 jam jadi 2 jam. Kalau bisa ditambah sedemikian rupa sehingga tiap kita menyetel tv, acara itu yang muncul. *sinis* Teman saya sempat berkomentar saat menontonnya, meninggalkannya, lalu saat dia menyalakan tv, acara itu masih berlangsung; "Ini adalah acara yang tak pernah selesai."
2. memperpanjang waktu tayang
Tadinya cukup 3 bulan, jadi 6 bulan, bahkan setahun, sehingga begitu berhenti, langsung bisa masuk season berikutnya. Lihat saja IMB, perpanjangannya jadi mengada-ngada, eliminasi dilakukan 2 minggu sekali! Apa-apaan itu? Mengubah format acara agar tayangnya lebih lama, dan melihat waktunya, saat pemenang IMB terpilih nanti, peserta IMB 2 sudah mulai diaudisi. Sungguh konyol.
Jangan sedih, kadang cerita latar belakang para peserta pun jadi diceritakan secara dramatis dan berlebihan dan dipanjang-panjangkan. Demi mengisi waktu dan menambah airmata di negeri yang selalu banjir airmata ini. *makin sinis*

Saya tahu, euforia publik memang sangat bermanfaat untuk meraup keuntungan. Tapi betapa dangkalnya pemikiran para pengelola TV, jika euforia itu ditanggapi dengan euforia juga! IMB hanyalah satu acara dari sekian banyak acara yang akhirnya jadi lelucon, karena kualitasnya jelas menurun, alirannya tidak lagi tight, dan mengada-ngada. Sebutlah sinetron Tersanjung 1-6, Cinta Fitri, Indonesian Idol, dllsb.

Publik juga kenal kata BOSAN!


Betapa dangkalnya, bila stasiun televisi ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari satu acara saja, sehingga kemudian rela mengorbankan kualitas acara itu sendiri. Lihat saja Indonesian Idol, yang kualitasnya makin terpuruk; dan saat kualitas terpuruk, POPULARITAS PUN TURUN! Bukankah itu LOGIKA DASAR yang harusnya dimiliki orang-orang yang bekerja di belakang program-program televisi?

Saya rasa wajar bila saya merasa pemenang Indonesian Idol terakhir (saya sudah tidak tahu, season berapa, dan siapa namanya, tidak berkesan!) disandingkan dengan pemenang Idol season-season sebelumnya seperti Mike atau Joy Tobing & Delon sekalipun. Jangan buat saya mulai membahas soal dramatisasi kisah latar belakang para peserta yang makin berlebihan itu. Itu boleh jadi nilai plus untuk menggalang simpati, wajar, tapi BUKAN KRITERIA UTAMA! Kriteria utama, di dunia ini, adalah BAKAT! KEMAMPUAN!

(Kalau memang Indonesia cuma mampu membuat program yang mengemis rasa kasihan orang, berarti alangkah sedihnya kita semua, yang menjadi pemirsa, karena kita dididik untuk memiliki mental PENGEMIS. Tidak perlu berusaha, yang penting membuat terharu.)

Hari ini sedikit sekali orang yang berkomentar soal IMB di Twitter.

Haruskah semua program televisi yang berkualitas berakhir nantinya karena penurunan kualitas?

MENYEDIHKAN.

Friday, September 10, 2010

Kapan Nikah?

KAPAN NIKAH?
ehm...nggak tau.

TARGETNYA KAPAN?
ehm...
mmmm...
nanti...
kalo...
gue JATUH CINTA.

Hari ini Miss Complain akan melampiaskan kekesalan atas pertanyaan ini. Ijinkan saya menggunakan kata ganti orang pertama sesuka hati. Maklum, isinya juga curahan hati.

Gue bener2 nggak bisa memahami konsep "TARGET MENIKAH" yang dibicarakan orang2. Kalau gue punya target menikah umur 28, berarti gue harus sekuat tenaga mencari jodoh sekitar umur 26 dan siapapun yang ada di umur 28 harus gue nikahi dong, ga peduli dia sebetulnya cukup baik atau tidak, akan menjadi suami yang baik atau tidak, dia siap atau tidak, akan menjadi bapak yang baik atau tidak...yang penting gue umur 28! Gue harus menikah? Gitu apa gimana sih?

Oke, umur gue sekarang 23.
Udah cari duit dari SMA, udah lulus kuliah dengan IP cum laude, dan sekarang mau ambil kuliah S1 jurusan lain di luar negeri. Apa yang membuat gue harus menikah sih? Karena gue perempuan? Karena gue 23?

Seumur hidup, gue selalu disuruh mencari ilmu tinggi2. Kebetulan gue berada di lingkungan di mana kesuksesan tidak dilihat hanya dari materi, tapi juga pendidikan dan sikap hidup. I have tried to do my best. Dan sekarang di saat gue pengen sekolah lagi yang bener, mencapai standar hidup yang lebih tinggi, gue malah ditanya kenapa belum kepikiran menikah. Pertanyaan gue kebalik, kenapa kalo gue masih muda gue ga kepikiran untuk belajar?

Oke, kalo keluarga inti yang nanya, gue masih maklum. Kenapa? Karena nyokap gue single parent, dan dia udah cukup tua. Gue ngerti dia cuma pengen ada yang melindungi gue. Dia cuma ingin keamanan buat anaknya. Tapi yang lain?

Kenapa di saat gue mau kuliah di luar negeri, semua orang malah bilang, "Wah, nanti dapet pacar orang bule dong?"

EMANGNYA GUE PERGI KE LUAR NEGERI BUAT CARI JODOH?

Belajar aja belum becus!

If I want to build a family, I want to do it the right way.
I want my children to see their parents in love.
I want my children to know that their parents are ready for them.
I want my children to be happy, and know that they are loved.

Mungkin gue emang ga seperti perempuan kebanyakan, yang sangat menikmati kehidupan berkeluarga dan bahagia dengan itu. Belum. Yang jelas gue belum mau memikirkan kehidupan berkeluarga sendiri, karena gue mau mikirin diri sendiri dulu.

Am I selfish?

Sejak bokap gue ga ada (waktu gue SD), gue ikut mikirin soal keluarga. Gue inget waktu piano kesayangan gue terpaksa dijual juga karena masalah ekonomi. Trus gue bergulat dalam masa ABG gue untuk bersosialisasi, karena gue sering merasa depresi. Di SMA gue punya pacar, dan berakhir dengan tidak baik, dan setelah gue putus gue sadar bahwa gue telah membuang banyak waktu gue untuk menutup diri dan ga peduli sama hidup gue sendiri.

Jadi menurut gue wajar, untuk sekali ini gue mau berpikir untuk diri gue sendiri.

EMANGNYA BERKELUARGA GA BUTUH ENERGI?

Emang cukup dengan kata 'cinta' dan uang seadanya?
Lebih baik gue ga punya keluarga daripada punya keluarga dalam keadaan ga siap.
Emang anak-anak yang akan gue didik itu boneka?
Mereka kan punya jiwa raga, yang semuanya harus diurus dengan baik.
Emang suami gue itu pembantu, yang bisa ngurusin hidup gue terus?
Sebagai istri kan gue juga harus menopang suami, bukan ngomelin dia terus dan membuat hidup dia menderita dengan menggantungkan segalanya sama dia!
Menurut gue sih gitu yah, dan itu ga mungkin terjadi kalo hidup gue sendiri belum bener.

Menurut gue itu adalah masalah mendasar pernikahan. Bagaimana caranya bisa berbagi, kalau masing-masing belum membenahi dirinya sendiri? Yang ada pasangan akan saling menuntut, ada ketidakseimbangan dalam hubungan, perasaan dirugikan, perhitungan, dan kadang muncul parasitisme. Belum lagi begitu muncul anak. Kadang anak menjadi perekat keluarga, tapi tak jarang anak menjadi sumber masalah pasangan. Ketidaksiapan bisa jadi bumerang buat orangtua, atau lebih parah lagi; menghancurkan si anak. Anak itu tanggungjawab yang luar biasa besar; harus dididik dengan baik, dirawat, bukan hanya makanan dan sekolahnya, tapi juga kesehatan jiwanya. Berapa persen pelaku kriminal, kekerasan, dan penderita depresi berlatar belakang keluarga yang tidak baik?

Inilah yang sering membedakan pandangan orang Indonesia dan orang Eropa, misalnya. Di Indonesia, banyak yang bingung, kok bisa orang Eropa jarang yang mau punya anak? Kok egois? Sementara orang Eropa lebih bingung lagi, kok orang Indonesia ada yang mau punya anak banyak, tapi hidupnya pas-pasan?

Buat gue, yang penting itu kualitas hidup.
Normal belum tentu baik.
Punya anak 2-3, penghasilan 7-8 juta per bulan, hidup pas2an...itu normal di Indonesia. Tapi apa baik? Apa anak2 itu mendapat pendidikan baik? Gizi cukup? Apa pasangan itu bahagia? Apa keluarga itu berkembang dengan baik?

I am so sick of this marriage question, and I am just 23, for goodness sake.
I am just learning to love my own life.

Lagian konsep 'perempuan kebanyakan' itu apa sih?
Apa gue harus menekan ego gue sedikit untuk ga bersaing sama laki-laki, supaya mereka bisa lebih nyaman bersama gue, dan gue jadi bisa dapet pacar?
Apa gue harus berusaha ga punya pendapat dalam segala hal, supaya laki2 bisa menentukan sikap gue, trus gue jadi bisa dapet pacar?

Gue ga keberatan merubah diri gue ke arah yang lebih baik, seperti lebih bersikap sopan atau memahami situasi. Tapi jangan suruh gue berubah demi dapet pacar. Even the thought of it sickens me.

Apa gunanya perjuangan Ibu Kartini, kalo akhirnya perempuan dijebak dalam stereotip yang sama dan dipaksa menikah, di saat kita dijejali dengan ide 'cita-cita'?
Sekalian aja, tanamkan di benak kami bahwa perempuan pantasnya menikah umur 20 tahun dan tidak ada hal lain yang lebih baik.
Jangan tanamkan ide 'belajar' dan 'berkembang', kalau akhirnya kami harus tetap melakukan segala-galanya demi laki-laki.

Of course I still want to have a family on my own.

Tapi ya ga sekarang dong!
GOUSH.
Kepo banget sih orang Indonesia!
Urusin keluarga sendiri dulu deeeeehhhhh....


*Miss Complain yang lagi curhat dan kesel banget*

Sunday, September 5, 2010

Bandara Internasional Soekarno-Hatta

Saya berharap, paling tidak bandara ini mau sedikit lebih menghargai namanya.
Sebagai penggemar Bung Karno, saya sungguh berat hati merelakan bandara ini dinamakan atas nama beliau, mengingat kekacauan yang selalu terjadi di dalamnya.

Oke, mau dimulai dari mana?

1. Interior yang usang
Bandara tercinta itu rasanya tidak perlu juga harus ditata sedemikian internasional, dan sebetulnya desain dan warnanya cukup unik. Tapi jelas terlihat semua tidak dirawat dengan seksama, warnanya kusam, lantai kotor, kamar mandi jorok, dan tentunya langit-langit yang luar biasa pendek. Bahkan untuk saya, yang juga pendek. Jangan lupa, panasnya juga tidak masuk akal. Wajar kan, kalau di bandara internasional harusnya disediakan AC yang memadai?

2. Bagian imigrasi yang terlalu minim
Setiap kali saya masuk ke bagian imigrasi dari luar negeri, antrian yang terjadi selalu berlebihan. Sungguh-sungguh berlebihan, setiap baris bisa mencapai 150-200 orang. Belum lagi saya harus berbaku hantam dulu dengan para TKI yang mayoritas kurang berpendidikan dan beretika, yang suka seenaknya menyelak. Katanya ada counter khusus TKI, tapi sia-sia saja tuh. Saya tetap harus bersitegang dengan para 'pahlawan devisa' itu.

3. Rel bagasi yang kurang memadai
Selalu antri berlebihan, selalu berisik, selalu dipenuhi juga oleh porter-porter yang jumlahnya agak berlebihan.

4. Bagian cek barang sebelum keluar
Selain terkesan asal-asalan, para petugasnya juga tidak tanggap terhadap aksi menyelak atau orang yg kesulitan membawa barang (contohnya saya). Suatu hari saya bahkan diselak serombongan orang yang baru pulang umroh, dan ternyata mereka TIDAK DIPERIKSA SAMA SEKALI. Saya tahu menunaikan ibadah haji adalah hal yang mulia, namun keistimewaan tersebut tidak membuat saya senang. Menurut saya, semua penumpang selayaknya diperiksa. Toh kalau memang tidak ada apa2, pemeriksaan akan berlangsung cepat. Saya berhak untuk merasa aman dong! Presiden sekalipun harusnya diperiksa dengan cermat! Dan orang-orang yang mendapat keistimewaan ini pun seringkali bersikap tidak mengenakkan. Saya sempat benar-benar bertengkar dengan seorang bapak-bapak yang menabrak saya dengan troli, dan tidak meminta maaf, dan menyelak. Sungguh tidak terdidik dan memalukan, padahal baru pulang dari menunaikan ibadah haji.

5. Taksi yang terlalu merepotkan
Pada intinya, saya tahu mau naik taksi apa. Blue Bird, Gamya, atau Express. Selain saya harus bersusah payah mencari pos mereka, saya juga harus mengusir para sales taksi lain.


Sungguh memalukan, punya bandara INTERNASIONAL semacam ini.
Atas nama Soekarno-Hatta, lagi.

Dengan fasilitas dan aturan yang jelas saja, orang Indonesia yang di bandara sering melakukan hal-hal yang tidak sopan, tidak terdidik, dan kadang-kadang tolol. Apalagi dengan kelonggaran dan kebobrokan?

*dan memang banyak juga orang tolol di bandara kok, tidak terhitung yang tidak sopan...jadi ini cerminan kebobrokan apa? Bandara atau bangsa?*

Friday, August 6, 2010

Taksi!

Taksi, di manapun juga, selalu dianggap sebagai kendaraan eksekutif. Selain karena privat, harganya pun lebih mahal dibanding kendaraan umum lainnya. Dan oleh karena harga yang dibayar itu, tentunya penggunanya mengharapkan keistimewaan, seperti:
1. mobil dengan interior nyaman
2. air conditioner
3. sopir yang tahu jalan
4. sopir yang ramah

Tapi kenyataannya...
tidak jarang si taksi interiornya berantakan dan AC-nya rusak.

Seorang teman saya bahkan memilih berkendara dengan taksi justru supaya tidak perlu repot2 mencari jalan. Kenyataannya? TIGA hari berturut2 dia mendapatkan kejutan; si sopir TIDAK TAHU JALAN.

Tunggu. Pekerjaan sopir taksi itu kan membawa penumpang ke tujuan toh?
Jadi skill yang dibutuhkan adalah kemampuan mengendarai mobil dan tahu jalan toh?
Jadi kalau sama sekali tidak tahu jalan, berarti kan cuma punya 50% skill yang dibutuhkan!

Come on, it doesn't require you to drive and sing and take shower and cook at the same time. It requires knowledge of the streets. Don't you guys have training whatsoever?

Jangankan di Jakarta, di Freiburg pun saya sempat merasa kesal sama si sopir taksi yang selain mobilnya buruk rupa, saya curigai gagap, karena tidak mengatakan apa2 walaupun saya bicara dalam bahasa Jerman. Uang kembalian yg berupa receh pun ditaruh seenaknya dengan berceceran, dan koper saya ditaruh di tanah dengan semena-mena. Huh!

Tapi ada juga, kalau di Jakarta, sopir yang KEPO. Kebanyakan ngomong, nanya ini-itu, nyanyi2 sendiri, mengomentari semua yang dilewati. Sampai batas tertentu masih wajar, tapi kalau sepanjang perjalanan? Apalagi kalau mulai bertanya soal pekerjaan. Saya pernah ditanya kerja apa yang pulangnya malam sekali (waktu itu sekitar jam 12 malam). WHAT??? Sungguh kepo. Inappropriate!

Jadi bingung, di Jakarta harus pakai kendaraan umum apa lagi ya?
Helikopter, mungkin?

Tuesday, June 22, 2010

Blackberry

Yes, I used to use BB. And yes, I do intend to use it again.
Cuma untuk satu alasan; MURAH. Karena semua orang sudah menggunakannya, rasanya memilih BB sebagai alat komunikasi adalah langkah yang cukup beralasan. Tapi saya takut. Takut jadi anti-sosial dalam dunia nyata.

Well, apapun perangkatnya, dunia maya memang menyedot kita dalam sebuah galaksi penuh imajinasi dan celetukan jenaka, sehingga kita terlepas dari apa yang ada di depan mata. Tak heran, kemudian pengguna BB sering dikatai 'autis' dalam konotasi memiliki dunianya sendiri. Atau tepatnya, dimiliki dunia lain.

Rasanya sepuluh tahun yang lalu, kita semua bisa hidup dengan telepon rumah, bukan? Rasanya lima tahun yang lalu, kita bisa tertawa lebar tanpa rasa gelisah walaupun handphone mengalami low-bat atau kehabisan pulsa.

Ironis rasanya, melihat beberapa orang duduk mengelilingi sebuah meja dan sama sekali tidak bicara satu sama lain. Semua mata terpaku pada layar BB masing-masing, seakan mengharapkan ada orang lain yang bercanda tawa tanpa perlu bertatap muka. Toh di saat seseorang bertemu dengan orang yang di-BBM itu pun, belum tentu akan tercipta kesenangan yang sama.

Ada apa dengan hidup kita, Jakarta? Apa kita sebegitu inginnya lepas dari apa yang terlihat oleh mata, sehingga kita membuat suatu tempat liburan di mana kita bisa melakukan sesuatu dengan siapapun tanpa harus bertemu siapapun? Apa kita sebegitu takutnya berhadapan dengan apa yang sedang terjadi, sehingga kita mengalihkan perhatian kita untuk hanya berhadapan dengan orang-orang yang membuat kita nyaman? Pasti ada sesuatu yang salah.

Salah satu alasan mengapa saya tidak kunjung mengganti smartphone saya dengan BB adalah karena saya ingin orang membayar untuk menghubungi saya. Egois dan aneh, memang. Tapi toh banyak yang tetap menghubungi saya lewat berbagai cara; sms, telepon, hingga twitter. Saat kita membayar untuk menyampaikan sesuatu, rasanya komunikasi jadi lebih padat dan berharga. Kita berpikir dalam menyampaikan sesuatu. Jujur saya rindu masa di mana kita bolak balik mengedit sebuah sms. Dan entah bagaimana, saya merasa saya lebih berharga. Basa-basi yang sering terpaksa saya lakukan saat bertatap muka tidak banyak saya temukan dalam sms, apalagi dengan orang yang tidak saya kenal dekat. Bayangkan saat layanan itu menjadi gratis. BBM misalnya. Alangkah mudahnya menghubungi seseorang...dengan kata lain, yang lebih sinis, alangkah mudahnya mengganggu seseorang.

Tentu saja ini hanya situasi kebanyakan. Saya memiliki banyak teman yang bisa menggunakan perangkat elektroniknya secara bijak sesuai fungsinya; alat komunikasi jarak jauh.

Entah sampai kapan saya bertahan dengan kesombongan saya ini, karena jujur saja komunikasi tak terbatas itu cukup menggoda. Dan saya pun akan tersedot dalam dunia maya itu dan perlahan melupakan keberadaan saya yang nyata. Kita lihat saja.

Sunday, June 20, 2010

Juri, Kali Ini Saya Yang Mau Komen

Karena seorang teman dekat berpartisipasi dalam sebuah talent show di sebuah stasiun televisi swasta, akhirnya setelah jutaan tahun (!) saya pun kembali memperhatikan keriaan yang tercipta di televisi nasional. Awalnya, saya terkejut dengan acara ini yang menampilkan begitu banyak bakat anak muda Indonesia yang luar biasa. Unik dan menarik. Apalagi banyak yang bersifat kedaerahan; hal ini tentu membangkitkan kembali rasa bangga akan identitas daerah dan identitas bangsa.

Akan tetapi, tentu saja karena blog ini bernama The Miss Complain, bukan Mrs.Nice Comment, maka saya pun mulai merasa jenuh dengan talent show yang penuh skenario dan mulai berlebihan. Kali ini saya ingin mengomentari soal juri. Bukan hanya acara talent show ini saja, tapi juga sebuah talent show pendahulunya yang mencari penyanyi pop di Indonesia. FYI, saya cukup menyukai juri-juri yang terpilih tampil di acara pencarian bakat massal itu, dan sangat tidak menyukai acara pencarian penyanyi yang sudah mencapai season ke-sekian itu.

Pertama, pujian juri.
Come on, hentikan pujian yang berlebihan. Anda duduk di sana untuk menilai positif dan negatifnya, bukan terus-menerus memuji. Pujian bisa dilakukan siapa saja, tapi kritik harus diberikan secara berdasar. Makanya Anda dipilih untuk duduk di situ, karena menurut CV Anda, Anda harusnya layak melakukan kritik berdasar atau pujian yang jelas.
NB: untuk acara talent show yang diikuti teman saya itu, juri-jurinya boleh diacungi jempol, lugas dan kritis. Tapi jangan buat saya mengomel lebih panjang untuk talent show menyanyi itu. Semua saja dipuji. Semua bagus. Tiap minggu penampilan terbaik. Aneh, bukan?
Memang ada juri yang tugasnya bicara sebagai penggembira, ada yang sebagai entertainer, ada yang sebagai juri teknis...ya tolong dong dilakukan dengan baik dan tetap ada alasannya.
"Bagus, saya suka." Ya kenapa suka?
"Ini penampilan terbaik kamu," tapi fals-nya melebihi bunyi klakson metromini.
"Stage act kamu bagus," ya apanya? Kenapa bisa bagus?
Anda kan ada di posisi di mana orang banyak sedang juga ingin belajar pada Anda. Kok pelit amat berbagi ilmunya? Apa jangan-jangan memang Anda tidak tahu alasannya?

Kedua, pengetahuan juri.
Ayo dong, Anda kan ditonton seluruh Indonesia. Anda kan dianggap tahu lebih banyak. Jangan tunjukkan bahwa Anda tidak pantas berada di meja itu! Harusnya kan Anda yang menguji kelayakan peserta berada di panggung, bukan malah jadi Anda yang tercoreng namanya. Penyanyi pop dibilang penyanyi opera. Suara fals dibilang pitch control baik. Suara datar dibilang penuh ekspresi. Lha ini kan namanya pembodohan masyarakat. Belum lagi kalau menggunakan contoh-contoh yang salah. Makanya, kalau jadi artis juga jangan sembarangan bicara, ayo canangkan wajib membaca bagi mereka, supaya bicara ada faktanya. Bikin penonton kagum sedikit boleh dong.

Ketiga, ikut-ikutan memasukkan emosi latar belakang dalam acara.
Anda kan di sana untuk mengomentari penampilan peserta, bukan latar belakangnya. Memangnya jaminan, kalau si peserta berasal dari keluarga miskin, dia pasti dicintai? Pasti bagus? Jangan dibikin rancu, ini acara cari bakat atau acara tangis-tangisan? Kalau tangis-tangisan, silakan bikin acara baru untuk memperlombakan kisah siapa paling tragis. Memang itu adalah bumbu acara, tapi juri tidak perlu banyak ikut campur. Saya sih sejujurnya tidak peduli orang itu anak yatim piatu, bekas tukang sepatu, atau pemilik hotel besar di dunia, kalau dia menampilkan sesuatu yang baik, ya saya akan sms untuk dia. Karena yang dicari itu bakatnya, bukan ceritanya. Terlalu banyak drama!

Pada intinya, juri itu dianggap sebagai 'guru', pendapatnya didengar khalayak ramai. Apapun yang sudah dikeluarkan untuk publik harus bisa dipertanggungjawabkan, dan tanggung jawabnya sangat besar! Semoga cepat atau lambat para juri memahami beratnya posisi mereka dan mau melakukan sesuatu yang mendidik bagi bangsa Indonesia.

NB: saya sungguh berharap juri-juri dalam acara pencarian bakat massal yang ditayangkan tiap sabtu dan minggu itu menjadi role model dalam acara talent show lain. Salut!

Friday, June 18, 2010

Dear Embassy

Beberapa saat yang lalu, rencana saya ikut audisi untuk sekolah di sebuah negara di Eropa tercekal karena masalah visa. Setelah meraung-raung dan guling-guling di lantai selama beberapa hari, saya memutuskan untuk berbincang dengan teman-teman saya yang juga sedang berurusan dengan kedutaan.

TERNYATA! Memang banyak anomali!

Saya tidak bisa memahami, mengapa prosedur satu sama lain sering berbeda dan penolakan visa sering terjadi tanpa alasan yang jelas atau membingungkan. Contoh kasus?

1. saya dan teman saya yg sama2 mengajukan aplikasi visa untuk studi dgn kondisi yang sama mendapat hasil yang berbeda. Bukan cuma dia mendapatkan visa segera, namun juga bebas biaya.
2. teman saya yang telah melengkapi surat2 untuk melakukan studi S2 ditolak tanpa alasan, padahal track recordnya baik.
3. teman saya yang suami-istri, mendaftar bersamaan untuk kuliah S2 yang sama, tidak diberi visa secara bersamaan, berselang kira-kira 1 bulan.
4. teman saya yang lain menikah dengan warga negara asing dan mengajukan aplikasi visa untuk berangkat sebelum sang suami habis kontrak kerjanya. Lebih dari 3 bulan, dijawab pun tidak.
5. temannya teman saya malah visanya ditolak karena jumlah uangnya terlalu banyak.

Yang paling menyebalkan adalah, urusan surat-surat aplikasi itu juga berbelit-belit!

Yang satu diminta surat A, yang lain tidak. Sementara surat A ini mungkin menelan biaya jutaan rupiah. Yang satu diwawancara, yang lain tidak. Plus, kadang si petugas kedutaan yang mungkin juga tertekan hidupnya, sering tidak meneliti kelengkapan dokumen itu sekaligus. Jadi misalnya hari ini kurang surat A, besok setelah ada surat A, ternyata surat B harus diubah. Setelah B diubah, ternyata surat C harus dibawa. Kenapa tidak langsung mengatakan ada surat A, B, C, dengan ketentuan blablabla?

Belum lagi kalau si petugas loket menjawab dengan ketus atau tidak memberikan info, melainkan berkata, "Lihat saja di website."

Mbak, kalau website Anda jelas, saya tidak akan bertanya. Tidak semua orang yang mau ke luar negeri itu tolol loh.

Ya ya ya, saya mengerti negara Anda ingin jaminan keamanan. Saya juga ingin aman. Anda ingin kepastian. Saya juga ingin kepastian. Tapi paling tidak, tolong berikan alasan yang jelas. Supaya kekurangan bisa segera diperbaiki dan waktu yang berharga tidak terbuang sia-sia. Atau memang semuanya harus dipersulit tergantung mood dari manusia?

Ah, birokrasi. Sistem itu kan dibuat untuk mengatur hidup kita supaya jadi lebih mudah dan terarah, bukan mempersulit dan menghancurkan hidup orang...


sambil meratapi visa yang tak kunjung tiba...

Thursday, June 17, 2010

You Just Work In The Store, Have Respect!

Saya punya seorang sahabat yang kesukaannya adalah berbelanja barang high-end alias barang mewah (siapakah dia? bisa dilihat di blog sebelah; Andeca Andeci). Saya sendiri tidak begitu menyukai belanja barang semacam itu, namun saya jadi sering keluar masuk toko-toko yang harga barang2nya dimulai dari tujuh digit.

Hal yang paling menyebalkan adalah, di saat kami datang dengan dandanan 'biasa' alias a la remaja (karena kami masih muda!), sering muncul sikap sinis dari sang penjaga toko. Biasanya yang dilakukan adalah;
1. bersikap cuek
2. tidak menjawab saat ditanya
3. menganjurkan kami utk pergi ke 2nd atau 3rd line dari sang designer (contoh saja; di Roberto Cavalli disuruh ke Just Cavalli, dari Armani disuruh ke Armani Exchange)

Lebih menyebalkan lagi kalau si penjaga juga bersikap sinis bila kita melakukan pembelian untuk barang diskon.

MEMANGNYA KENAPA?

Pertama,
Anda kan kerja di toko itu. Bukan yang punya. Jadi sikap seperti itu mencoreng brand yang Anda jaga.

Kedua,
Saya kan tahu jumlah gaji Anda. Itu kan tidak cukup untuk membeli bahkan barang diskon di toko ini. Jadi kenapa Anda sinis kalau saya beli barang diskon ini?

Ketiga,
Kalau tokonya yang diskon, memangnya gaji Anda ikut didiskon? Anda kan digaji! Jadi Anda tidak berhak memperlakukan customer setengah-setengah juga.

Keempat,
Anda kan tidak pernah tahu, siapa yang Anda hadapi di mall-mall mewah! Kadang, orang yang mampu beli barang di toko Anda itu tidak harus terlihat spektakuler. Anda bisa saja berhadapan dengan pers, teman dari orang yang berpengaruh, atau...saya! Hahaha!

Kelima,
Biarpun OKB (Orang Kaya Baru), biarpun orang yang menabung seumur hidupnya cuma untuk beli satu barang di toko Anda, mereka customer. Tugas Anda cuma melayani customer. Kalau itu saja tidak bisa Anda lakukan dengan baik, jangan jadi penjaga toko itu. Bisa jadi kasir. Bisa jadi cleaning service. Atau jadilah manager. Atau sekalian jadilah orang kaya dan milikilah toko itu. Tapi selama Anda masih jadi penjaga di situ, layanilah customer dengan baik. It's your job, not mine.

So, my point is;
when you work in a store, please be nice and respect your customers, though you have no idea who they are or you think they would never buy anything.

BECAUSE IT'S YOUR JOB, FOR GOODNESS' SAKE!!!
(I am not asking you to be a super human!)


Just-a-note: 3 stores that had never put us into trouble or made us feel emotionally attacked, @ Plaza Indonesia, so far;
- Bally
- Tod's
- Gucci

Oh really, Ms.Goeslaw, you think GITA GUTTAWA is an OPERA SINGER?

Beberapa saat yang lalu saya mendapat kabar bahwa Melly Goeslaw, tokoh yang pasti banyak didengar oleh masyarakat, mengatakan bahwa penyanyi opera terbaik di Indonesia adalah Gita Guttawa.

Semoga kabar ini tidak benar (semoga! benar2 berharap ini bohong!!!)! Karena Gita Gutawa bukan penyanyi klasik, apalagi opera. Dia tidak menyanyikan lagu2 klasik, melainkan lagu pop dengan sentuhan orkestrasi. Hal ini juga dikonfirmasi ayahnya sendiri, Bapak Erwin Guttawa, yang mengatakan bahwa anaknya adalah penyanyi pop, bukan klasik. Kemudian, Gita Guttawa tidak pernah memainkan opera klasik. Sama sekali. Sehingga tidak mungkin itu menjadi profesinya, bukan?

Saya sama sekali tidak mempersalahkan Gita Guttawa. Tapi saya hanya ingin menjelaskan kenapa banyak orang yang sedang bergelut di dalam dunia musik klasik sering memendam kekesalan terhadap komunitas pop. Hal yang paling menyebalkan untuk saya pribadi adalah, banyak orang yang SOK TAHU.

Tentu saja tidak bisa kita menyalahkan pendidikan musik klasik pada publik, karena toh itu bukan budaya kita. Tapi kalau memang tidak tahu, kenapa bukan cari tahu, tapi malah bersikap sok tahu? Melly Goeslaw, contohnya, adalah tokoh pop yang cukup dihormati, sehingga pasti dia didengar banyak orang yang tidak mau memproses informasi tersebut namun percaya mentah2. Maka akan muncul anggapan di media dan masyarakat, bahwa Gita Guttawa adalah role model dan diva tingkat tertinggi opera di Indonesia. MENGERIKAN!

Sudah terlalu banyak 'salah kaprah' gambaran dunia musik klasik yang terpapar pada publik. Suara yang tinggi, dianggap klasik. Suara yang tebal dan sedikit bulat, dianggap klasik. Bila iringannya memakai orkestra, menjadi klasik. Dan karena banyak orang yang merasa tidak cukup pintar untuk mencari sendiri, banyak orang yang langsung percaya. Saya bukan siapa-siapa dalam dunia musik klasik, sehingga saya juga tidak akan lancang memberikan pengertian apa itu musik klasik. Tapi saya mencari. Dan saya ingin mengajak teman-teman untuk ikut memahaminya lewat cara yang benar. Bukan mengidolakan tokoh-tokoh yang tidak tepat. Tidak tertipu pernyataan dan standar yang sesat. Karena pembodohan masyarakat secara luas sedang terjadi. Bayangkan betapa sedihnya, bila misalnya Anda adalah guru besar matematika, Doktor lulusan luar negeri, seorang ahli yang bekerja keras, lalu tiba-tiba seseorang melakukan perkalian, 10 x 10 = 100, dan si pembawa acara mengatakan, "Hebat sekali! Inilah ahli matematika terbesar di Indonesia!" Bayangkan kerusakan standar besar-besaran yang diakibatkan kebodohan si pembawa acara!

Ide yang ingin saya masukkan dalam kepala para petinggi musik pop itu adalah; pernyataan2 semacam ini menyakitkan banyak orang dalam komunitas musik klasik. Ini bisa dibilang fitnah. Sementara Indonesia memiliki begitu banyak musisi klasik yang luar biasa dan berkiprah dalam musik klasik nasional hingga internasional, namun nama mereka ditenggelamkan begitu saja hanya karena pernyataan dangkal yang tidak berdasar dari seorang selebritis.

Kita patut prihatin.
Dan para selebritis itu patut merenung.

The Day Miss Complain Was Born

Ya, saya adalah perempuan muda cerewet yang selalu marah-marah.

Kenapa?
Karena selalu ada alasan untuk marah-marah!

Hidup di kota Jakarta dan suka memperhatikan bangsa Indonesia, rasanya selalu ada yang bikin darah menggelegak. Panas! Ingin marah-marah!

Mungkin karena saya nasionalis.
Mungkin karena saya feminis.
Mungkin karena saya seniman.
Mungkin karena saya lapar.
Mungkin...
PENGEN MARAH AJA!

Or maybe because some people are just too stupid to be true.

So here it is.
The Miss Complain.
Who complains.

Let's complain!

;-D