Friday, August 17, 2012

Nasionalisme; Romantisme?

Hari ini adalah hari Kemerdekaan Indonesia.

Entah mengapa saya tidak terlalu tergerak untuk merayakan hari kemerdekaan ini. Sungguh, bukan karena saya pesimis terhadap bangsa dan negara ini. Saya adalah satu dari entah berapa banyak pemuda-pemudi yang masih percaya, bahwa bangsa ini sedang berjalan menuju suatu masa depan yang baik, asalkan kita tidak berhenti bekerja, berkarya, berdoa. :)

Saya pun mulai berpikir, apakah saya kurang nasionalis?

Lalu muncul pertanyaan berikutnya, apakah nasionalisme itu?
Jangan-jangan nasionalisme hanyalah sebuah ide romantis dalam hidup berbangsa?

Di Wikipedia baris awal, nasionalisme didefinisikan dengan cara begini;
"Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia."

Dalam pemahaman saya, nasionalisme ditanamkan dan dipertahankan untuk mewujudkan persatuan sebuah bangsa dan negara. Isu-isu SARA yang belakangan ini marak di Indonesia harusnya bisa dengan mudah diredam dengan paham ini. Mengapa? Karena nasionalisme mengajarkan kita untuk memiliki identitas bersama; sebagai satu bangsa, terlepas dari berbagai suku, agama, ras, dan adat-istiadat.

Namun apakah nasionalisme sebegitu krusialnya, di seluruh dunia?

Mengacu pada sebuah pengalaman saya berdiskusi di sebuah kelas bahasa di benua Eropa, saya menarik kesimpulan, bahwa nasionalisme krusial tidak di segala bangsa. Orang-orang Eropa yang berada di kelas saya tidak menyukai saat kita mempertanyakan, darimana asal mereka; apakah asli Jerman, Itali, Norwegia, atau memiliki keturunan bangsa lain. Mereka kurang suka dikotak-kotakkan, karena akan mudah masuk dalam stereotip tertentu.

Sementara, saya bersama teman-teman yang berasal dari Asia (Cina, Jepang, India) terkejut dengan hal ini. Menurut kami, tidak mengakui asal-muasal (ras) itu seperti melecehkan negara dan bangsa sendiri. Seakan-akan malu dengan negara asal. Kami dididik untuk bangga pada leluhur dan tanah air, bagaimanapun keadaannya.

Maka diskusi hari itu pun menjadi semarak. Teman-teman dari benua Eropa mempertanyakan, apakah nasionalisme tidak menjadi berbahaya; karena kemungkinan adanya perasaan eksklusif? Apakah nasionalisme tidak menghambat kehidupan kami yang akhirnya selalu ingin pulang ke tanah air? Sementara teman-teman dari Asia ikut mempertanyakan, apakah dengan tidak adanya identitas kebangsaan kehidupan menjadi lebih mudah? Lalu siapa yang melestarikan budaya? Tidakkah ada 'sense of belonging' terhadap negara dan pemerintahan?

Di penghujung kelas. Kami semua memiliki bahan permenungan, dan pelebaran wawasan. Semua memiliki jawaban dan pandangan yang beragam. Saya ingat seorang teman dari Itali (dia memilih untuk disebut 'orang Eropa' saja) mengatakan; pada akhirnya terlepas dari sebuah asal usul, yang penting adalah menjadi orang yang baik. Mengapa harus membatasi diri pada sebuah komunitas, saat kita bisa melakukan kebaikan pada siapa saja dan berkarya di mana saja?

Lalu, pentingkah nasionalisme itu?

Pada akhirnya, kita masing-masing yang dapat menjawabnya.
Saya, yang terlahir dan bangga menjadi orang Indonesia, masih menganggap nasionalisme itu penting. Karena saya kemudian memiliki sebuah ikatan budaya, ikatan keluarga, ikatan tanggung jawab melakukan sesuatu untuk bangsa, melakukan sesuatu tidak hanya untuk diri sendiri melainkan sebuah komunitas yang lebih besar - yang terlepas dari kotak suku, agama, ras, dan adat-istiadat. Selain itu, dengan memiliki ikatan yang kuat dengan kampung halaman, saya merasa aman. Ke manapun saya pergi, di manapun saya berkarya, saya tahu bahwa di sebuah kepulauan bernama Indonesia, saya punya rumah. A home.

Bagaimana dengan Anda? ;-)

Religius?

Entahlah bagaimana saya mencitrakan diri saya sendiri ini dalam kehidupan sehari-hari.
Saya tidak berusaha membuat suatu gambaran yang ideal agar menarik di mata orang lain, karena toh dengan menjadi apa adanya, saya memiliki keluarga, rekan kerja, dan sahabat-sahabat yang luar biasa.

Namun mengenai citra saya di mata orang, mulai menggelitik saat saya memutuskan untuk mengikuti sebuah kegiatan rohani bulan depan. 

TIDAK ADA YANG PERCAYA. :))

Saya sama sekali tidak tersinggung.
Menurut saya, semua orang berhak memiliki pendapat mengenai kehidupan religius saya. Saya sendiri pun menolak untuk menggembor-gemborkan hubungan saya yang sangat personal kepada Tuhan.

Saya hanya bertanya-tanya, apakah untuk menilai seseorang religius atau beriman, harus dilihat dari berapa kali ia pergi ke tempat ibadah? Haruskah saat kita beribadah, kita mengatakannya pada semua orang, atau minimal orang terdekat? Haruskah kita selalu berbagi pandangan iman kita dengan mengutip berbagai ayat dan menyebut nama-nama Nabi? Haruskah kita menyebutkan dalam berbagai jejaring sosial kegiatan kepemudaan atau perkumpulan doa yang kita ikuti? Haruskah kita begitu aktifnya dalam organisasi keagamaan untuk menandakan kedekatan kita dengan Tuhan?

Saya memahami kebanggaan yang muncul atas dasar sukacita dalam beriman. Mengapa tidak bersukacita, bila hidup dan hati Anda dipenuhi berkat?

Namun apakah itu satu-satunya cara untuk menjadi religius?

Saya hanya berpikir, bahwa religiositas itu sifatnya sesungguhnya universal. Ada nilai-nilai kebenaran yang tidak harus diklaim dengan cara-cara tertentu, dan bila ada yang melakukannya dengan cara yang lain dengan Anda, apakah otomatis menjadi salah?

Entahlah.
Saya hanya merasa, agama mungkin sifatnya komunal, tapi hubungan manusia dengan Tuhan pada dasarnya personal.

Dan tidak semua orang harus sependapat dengan saya. :)