Sunday, November 7, 2010

Budaya Senioritas

Saya termasuk salah saatu orang yang beruntung; pada masa SMA, saya tidak mengalami prilaku bullying. Tapi bagaimanapun, senioritas yang sudah mendarah daging dan sering berujung pada bullying sering saya temui dalam kehidupan sehari-hari. Saya pun sempat mengalaminya di masa SMP. Bukan rahasia lagi, bahwa senioritas adalah hal yang penting dalam bersosialisasi. Sisi positifnya, kita dididik untuk lebih menghargai orang yang memiliki pengalaman lebih dari kita (bukankah itu esensi dari ‘senior’?). Sisi buruknya? Banyak senior yang menyalahgunakan senioritas tersebut.

Apa sih yang membuat seorang senior berharga? Di mata saya sih, Cuma satu; pengalamannya. Senior bukan berarti seseorang yang pasti lebih pintar, lebih baik, dan lebih berwawasan dari kita. Mungkin, tapi tidak mutlak. Hal yang mutlak adalah; dia sudah lebih dulu mengecap hal-hal yang belum kita lalui, dn memecahkan masalah-masalah yang bahkan belum kita bayangkan. Jadi dengan esensi senioritas tersebut, hal apa yang layaknya dilakukan senior kepada junior? Menurut saya juga Cuma satu yang perlu; BERBAGI.

Masalahnya, saya sering mengamati bahwa senioritas di Indonesia, baik di sekolah maupun di lingkungan sehari-hari, kadang tidak bertolak dari rasa berbagi. Lebih kepada keinginan menindas dan membuat lelucon dari orang-orang yang tidak bisa melawan. Senioritas, atau tirani?

Saya sempat mengalami senioritas dengan melakukan kegiatan merayu tiang, bernyanyi pada pintu, dimarahi, dibuat lelucon. Yang saya sayangkan adalah; seringkali saya tidak diberitahu esensi dari perbuatan tersebut. Teman-teman saya yang tergabung dalam sebuah teater pernah menjelaskan, ada sebuah ritual untuk berjalan mengelilingi sekolah sambil memakai kostum hewan dan berbunyi seperti hewan. Kegiatan yang memalukan, tapi esensinya jelas, untuk melatih mental agar tiap pemain tidak canggung dalam melakukan gerak tubuh dan ekspresi dalam karakter yang dimainkan. Saya juga pernah mengalami kegiatan harus melawak setelah dimarahi habis-habisan. Esensinya; untuk bisa bersikap positif dan kreatif di bawah tekanan. Ketidakberdasaran senioritas dalam kasus2 lain mungkin juga hanya jadi rangkaian dari siklus bodoh yang tak kunjung dipecah. Karena tadinya ditindas, seseorang pun menggunakan itu untuk menindas juniornya. Tidak peduli apa esensinya. Rasa tidak enak, rasa kesal yang tadinya tidak terungkap dibalaskan kepada juniornya; bukannya malah berhenti dan mencoba agar juniornya tidak merasakan hal yang sama.

Sialnya, bukan hanya di lingkungan sekolah; senioritas salah kaprah ini juga terjadi dalam dunia kerja. Sebuah sistem yang tidak menyenangkan untuk seseorang malah dilestarikan, bukan dihentikan. “Tradisi” dijadikan alasan klise untuk melakukan tekanan tanpa alasan. Sering muncul kalimat, “Ah, dulu gue juga digituin. Lebih parah, malah.” Tapi apa perlu? Ya, kadang perlu. Kadang tidak. Keperluan itu harus sangat diwaspadai, karena ada satu hal yang penting juga saat kita berlaku sebagai senior; TANGGUNG JAWAB. Tanggung jawab mendidik junior dan tanggung jawab memberi contoh yang baik (ing ngarso sung tulodo). Karena senioritas yang bodoh akan cenderung menelurkan junior yang bodoh dan siklus buruk yang tak kunjung berakhir.

Jadi, sudahkah kita jadi senior yang baik?
Ataukah kita hanya manifestasi dari senioritas balas dendam seperti yang terjadi dalam kasus STPDN?

0 comments:

Post a Comment