Sunday, October 25, 2015

Antara Jarak dan Kebenaran

Bila sebuah pohon jatuh di depan Anda, Anda bisa mengatakan bahwa pohon itu jatuh.
Namun apabila pohon itu jatuh di sebuah hutan dan Anda tidak melihatnya, apa berarti pohon itu tidak jatuh?

Hanya karena Anda tidak melihat, bukan berarti hal itu tidak ada.
Hanya karena Anda tidak melihat, bukan berarti hal itu tidak nyata.

Saya sungguh terusik dengan kebiasaan banyak orang yang lebih percaya pada apa yang sering mereka dengar (frekuensi) biarpun dari orang yang tidak credible, daripada apa yang mereka bisa cek sendiri (ini kan jaman teknologi, hampir semua bisa dikonfirmasi kan?), tapi saya lebih terusik lagi bagaimana orang bisa mempercayai seseorang yang lebih sering hadir di depan matanya, lalu membutakan diri dari kebenaran.

Hanya karena orang yang dibahas tinggal ribuan kilometer jauhnya, bukan berarti nilai kebenaran berubah - bisa dibengkokkan atau diputarbalikkan.


Tentu saja, kita tidak bisa menuntut orang-orang yang tidak memiliki kepedulian terhadap kita untuk mengkonfirmasi sesuatu yang mereka dengar dari orang yang mereka temui sehari-hari, apalagi bila orang tersebut adalah story-teller berbakat, yang pandai merangkai kata dan 'fakta' menjadi sebuah cerita yang masuk akal.

Tapi alangkah mengecewakannya bila orang-orang yang tadinya peduli pada kita pun ikut mempertanyakan kebenaran dan apa yang terjadi akibat kisah palsu si pendongeng tersebut.

Saya akhirnya melihat sendiri, bagaimana jarak bisa memberi ruang pada ketidakbenaran.

Saya pun heran, kok ada orang yang begitu aktif berperan sebagai pendongeng kisah-kisah tidak benar, mengambil tokoh-tokoh yang dikenal lalu diberi karakternya sendiri, dijungkirbalikkan, diceritakan dari perspektif yang asing lalu diceritakan sebagai hiburan. Tokoh-tokoh yang namanya diambil tanpa sepengetahuan dan sepertujuan, hanya bisa terkejut saat namanya terpapar pada kisah yang bahkan tidak mereka kenali.

Tokoh-tokoh ini, ribuan kilometer dari pendongeng, tentunya menjalani kehidupan mereka dengan berbagai drama dan juga kebahagiaannya, tanpa merasa perlu memberitakan atau mendongengkan kisah mereka kepada ribuan orang.

Sekian banyak bab kehidupan yang tidak mudah, lalu dicuplik dan dikutip beberapa bagian kecil oleh pendongeng, diberi asumsi, opini, dan beberapa khayalan, lalu diplintir menjadi kisah baru yang terdengar spektakuler dan asyik dibicarakan saat makan malam.

Lalu apa yang bisa dilakukan tokoh-tokoh tersebut selain marah atau sedih, di saat pendongeng memutarbalikkan kebenaran hanya demi hiburan dan membawa tawa bagi orang-orang di sekitarnya (dan mungkin demi alasan lain yang tidak dapat orang lain pahami)?

Sungguh, sekarang pun saya tidak tahu.

Akan tetapi ini yang saya tahu dan saya percayai;
bahwa absensi bukan semata yang menentukan besarnya nilai kebenaran atau layaknya mendapat kepercayaan.
bahwa estafet bunyi selalu berakhir dengan distorsi.
bahwa kebenaran yang utama akan menjadi seperti cahaya - bersifat lurus; bisa ditutupi tapi tidak bisa dibelokkan, pada akhirnya akan menjadi terang.

Bahwa jarak tidak seharusnya menggantikan kebenaran.

Friday, October 23, 2015

Mereka Yang Tidak Kembali

Agak tergelitik dengan ucapan "Balik ke Indonesia, bangun negara."

Sebagai mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di negara lain, saya ga jarang mendengar ucapan tersebut, dan tak jarang disertai dengan keprihatinan bahwa banyak orang Indonesia yang brilian yang memutuskan untuk bekerja di luar negeri, bahkan berganti kewarganegaraan dan menetap di negara lain.

Sayang? Mungkin.
Kalau kita berpikir bahwa bangsa harus selalu dibangun dari dalam.
Kalau kita berpikir bahwa nama Indonesia harus selalu diharumkan oleh kelompok bangsa yang berdiam di alam Indonesia.
Kalau kita berpikir bahwa mereka yang tidak berada di Indonesia tidak juga mencintai Indonesia.

Beberapa bulan yang lalu pintu apartemen saya diketuk seorang tetangga (orang Austria) yang memberikan sebotol wine (sebagai kompensasi renovasi yang menimbulkan keributan), dan saat ia bertanya darimana saya berasal, dia segera tersenyum lebar dan mengatakan bahwa dia mengenal Indonesia cukup baik. Dari mana? Karena ia pernah memiliki kolega orang Indonesia, hubungannya baik, bahkan dia memiliki sebuah buku mengenai demokrasi di Indonesia sebagai hadiah.

Now, think about it for a minute.


Whatever you do, wherever you do it, of course it will be affiliated with things that you are. Memang kadang rasanya nggak adil, saat ada orang Indonesia yang melakukan sesuatu yang tidak baik, lalu semua orang Indonesia terkena getahnya; tapi satu perbuatan baik yang kita lakukan sebagai orang Indonesia pun bisa memberi efek bagi nama bangsa.

Banyak orang Indonesia yang saya kenal telah menetap puluhan tahun sebagai warga negara bangsa lain, tidak melupakan ke-Indonesia-annya. Mereka bergaul dengan orang berbagai bangsa lain dan berprestasi secara perorangan, dan mendapatkan rasa hormat dari teman dan koleganya. Apakah orang-orang ini lalu layak dikatakan tidak mengharumkan nama bangsa?

Some people go home, some people build their homes somewhere else.
I don't think we should mind.


If they're happy with their lives, go support them.
Kenapa kebaikan dan kesuksesan harus dibatasi oleh kenegaraan? Kalau seseorang bisa hidup baik, sukses, dan bahagia di negara lain, mengapa tidak? Bukankah mereka justru ikut menjadi duta bangsa, membuka pandangan orang lain mengenai Indonesia? Kalau mereka bisa berbagi kebaikan dan kebahagiaan pada orang lain dan tidak eksklusif pada orang Indonesia saja, bukankah hal itu juga baik?

Jangan sampai kita malah menghakimi mereka sebagai orang-orang yang tidak peduli pada bangsa, menolak atau menyangkal keberadaan dan akar mereka. Tentunya, jangan sampai juga mereka juga merasa dihakimi dan ditolak oleh bangsanya sendiri.

Pada akhirnya, bukankah yang penting adalah kita sebagai manusia? :)


Sunday, September 27, 2015

Teach your daughters to dress properly, but also teach your sons to think properly

Saya lama menahan diri untuk tidak menulis mengenai hal ini hanya karena saya takut terlalu terbawa emosi; tapi berhubung sepertinya menulis adalah terapi anger management yang cukup baik; here we go.

I cannot stand being told what to wear - and judged for it - by men. In Indonesia.
Like, clean up your mind, people!

Sungguh berulang kali darah menggelegak di saat ada berita perkosaan atau pelecehan seksual, lalu komentar lelaki adalah; "Makanya tuh, pakai baju yang tertutup."

You know what I think?

I think we have spent decades telling our daughters how to dress and never to our sons how to respect and protect women.

Jangan salah, saya pun sadar pentingnya berpakaian dengan baik dan proper; bukan karena saya takut terhadap ancaman lelaki; namun karena saya belajar menghargai tubuh saya sendiri. Belasan tahun di sekolah Katolik yang konservatif menanamkan bahwa tubuh ini adalah hal yang suci. Maka perlu dirawat, dijaga, dan dilindungi. I don't even wear short pants because I am not comfortable with it.

Tapi saya pun merasakan ketakutan saat berjalan di tempat umum, karena saya memiliki lekuk tubuh perempuan. Tak jarang saya mengenakan pakaian tertutup lengkap dengan jaket yang sama sekali tidak ketat, dan tetap mengalami pelecehan seksual secara verbal.

So I think, the problem is not in the way women dress. It is in the way the men think.


I hate to compare; but what the hell, never once I got a sexually abusive comment for dressing up here in Vienna. Women wear tank-tops, short-pants, and not only they are safe from abusive comments, they even have the right to call police if they got one (and the police WILL help the women who feel abused). And it is not because the women are not sexy enough; it is because the men are taught to respect. Bahkan pandangan mata abusive (seperti melihat dari ujung kepala sampai ujung kaki, yang sering dilakukan lelaki di Indonesia) pun jarang saya temukan.

Lebih kesal lagi, adalah ketika melihat gaya berpakaian perempuan di sini (Eropa), lalu lelaki Indonesia menghakimi dengan berkata bahwa perempuan Eropa itu terlalu terbuka, tidak proper, tidak pantas, dllsb yang intinya tidak baik. Padahal, mereka berpakaian demikian karena mereka ingin dan berhak melakukannya! Anda, sebagai lelaki, tidak punya hak untuk mengaturnya, menghakiminya, apalagi melecehkannya.

What I am saying is; first, of course we should tell our daughters to respect their own bodies. Di mana-mana mau di Barat Timur Utara Baratdaya juga orang yang telanjang jalan-jalan itu aneh (!). Tentunya ada norma yang layak untuk diikuti, dan wanita selayaknya memahami hal itu sebagai bentuk cinta dan penghargaan terhadap dirinya sendiri.

But, we have to really teach our sons to respect women. Untuk tidak menghakimi berdasarkan pakaian. Untuk menghargai mereka dan tidak melecehkan. Untuk tidak memandang wanita sebagai objek yang bisa diatur sesukanya. Untuk tidak berpikir sembarangan dan bertindak sembarangan pada wanita. (oh dear, I really hope not all men are like that)

Just stop it. We are all humans, aren't we?


#weeklyrants #letmegetitout #angermanagement

Tuesday, September 1, 2015

Punya Tujuan

Banyak orang bilang -setiap kali saya mengemukakan suatu ide- "Wah, sulit."

Mengingat saya bergerak di bidang seni yang 'hidup' dan tidak stagnan, saya sering merasa gemas alias greget mendengar hal semacam ini.

Kenapa?

Karena percayalah, lebih sulit jika hidup itu nggak punya ide.

Melihat sedikit ke belakang (jangan banyak-banyak, kan katanya lebih baik lihat ke depan), momen-momen terburuk dalam hidup saya (seperti yang saya alami baru-baru ini) adalah ketika saya tidak tahu apa yang ingin saya lakukan alias nggak punya tujuan.

Pilihannya jadi antara melakukan apa yang disuruh, atau tidak melakukan apa-apa. Kalau sebentar sih nggak papa, tapi kalau selamanya?


The thing is,

Hidup ini keras, Bung.


Kayak menempuh jalanan Jakarta yang macet, berdebu, banyak orang yang nyerobot, lebih banyak yang nyolot (#curcol). Kalo kita nggak punya tujuan, ngapain jalanan kayak begitu ditempuh?

Kalo kita ga punya tujuan, buat apa mengatasi segala rintangan, nggak tahu pula sampainya butuh berapa lama...

Ya memang, kadang tujuan pun jadi harus berubah kalo hambatannya udah fatal semacam banjir, jembatan roboh, bumi terbelah...well you know what I mean. :p

Tapi saat tujuan akhir itu jelas, mau jalanan kayak apa juga kita pasti bisa jalani. Seringkali harus muter-muter. Kadang harus berhenti dulu untuk istirahat. Sesekali harus minta bantuan orang untuk tanya jalan. Nggak jarang harus diingatkan. Kadang bahkan harus ganti transportasi!


Tujuan - yang kasih semangat saat langkah terasa berat.

Tujuan - yang kasih energi saat ditolak sana-sini.

Tujuan - yang membuat kita bisa memaknai setiap perjalanan.


Kadang tujuan itu berupa suatu pencapaian. Atau suatu pengabdian. Atau suatu keadaan. Atau suatu benda. Atau suatu kondisi jiwa. Atau suatu tempat. Atau suatu sosok.

But you have to have something to get you through.

And when you have found it, yes, believe that the Universe will conspire to help you.

Semangat! :)


#athoughttoremember
#getthrough #motivasiulang

Tuesday, August 25, 2015

Komentar Fisik


Belum genap dua bulan saya hidup kembali di Jakarta, dan sudah tak terhitung remarks fisik yang saya terima.


Like, why is it here so normal to talk about somebody's gaining weight or stuffs?


Mungkin karena sudah agak lama tidak mendengar komentar atau candaan yang bersifat fisik, hati saya jadi agak miris. Kenapa? Karena saya mulai mengerti mengapa saya tumbuh sebagai perempuan yang sangat insecure mengenai tampilan fisik.


For so many years I never feel pretty.
Worse; I always feel ugly.


Dan saya yakin saya bukan satu2nya.
Dari iklan pemutih kulit yang ada hampir tiap menit sampai omongan tante2 saat bertemu, semua membandingkan satu perempuan dan lainnya. Melalui fisik. Indonesia, yang menurut saya perempuannya luar biasa cantik-cantik dan sangat beragam, tampaknya adalah bangsa yang membuat banyak perempuannya tidak merasa demikian.


Pengalaman pribadi saya adalah saat orang di Indonesia mengomentari dengan tanpa rasa bersalah bahwa saya pendek dan gemuk (which is true, btw) dan menyarankan agar saya diet supaya terlihat lebih baik.
Sementara teman saya dari negara lain mengajak saya berdiet dan olahraga untuk kesehatan.


Belum pernah sejauh ini saya memiliki teman dari negara lain yang membuat saya merasa bersalah untuk menjadi pendek dan gemuk dan tidak cantik karena mengganggu estetika pemandangan (???), atau mendapat komentar negatif dari lawan jenis secara frontal mengenai fisik, atau mendapat perlakuan kesopanan yang berbeda karena tidak menarik.


Maybe it is a cultural thing.
I don't know.


But really, why should we do that?
Why should we crush somebody's confidence by saying those things, though it is just for a laugh?


Is a laugh worth years of insecurities or destructive feeling of not pretty enough?
Even if the person laughs too, you know.


Saya pernah mengeluarkan komentar lucu terhadap fisik saya sendiri di depan teman-teman di Eropa, dan saya ingat betul bagaimana mereka menghardik saya untuk tidak melakukan itu. Saya bersyukur untuk bebas dari komentar fisik karena memang hal itu dianggap sangat tidak sopan. Dalam beberapa tahun insecurities itu pudar, dan bahkan saya justru termotivasi untuk hidup sehat tanpa iming2 supaya cantik.


So, sering lihat bule nggak masalah memakai you-can-see walau tangannya besar? Atau rok mini walau pahanya besar? YA MEMANG HARUSNYA NGGAK JADI MASALAH SIH.


You are beautiful.


Pujian yang diucapkan antar teman saat bersiap pergi keluar.


You are beautiful.


Kalimat yang diucapkan orangtua pada anaknya.


You are beautiful.


Kamu mungkin sedang berjuang untuk diet demi kesehatan. Semangat ya.


But you are beautiful anyway.


(lama2 jadi pengen nyanyi lagunya Cherrybelle)


If only we do that more.
Wouldn't the world be a little more wonderful?


#justathought #butreally #stopit #letmeeat

Tuesday, February 24, 2015

Be An Audience

Performer and audience are two things that seem different.

I know there are the diva jokes where performers do not want to be audience; they want to be seen, not to see. But I cannot, cannot imagine people making music without listening to any music, or see concerts. Because they belong together; to absorb, to learn, to enjoy, and to create.

It had always bothered me before but I just had no time writing this down; but I see so many musicians do not want to come to concerts because of reasons such as:
- I do not know any of them (and do not bother to find out if they are good or not)
- I have no money (even though the ticket costs the same as my coffee)
- Those people never show up in MY concert as well
- The performers belong to that community and I do not want to be seen as one of them

(Or those who come only to make comparisons to what they are doing, ugh. I don't even want to go there.)

Okay. I do not want to complain so much; but if you want to enjoy classical music, you really have to sit through a live concert, bro.

And this relates to the whole community itself, it is heartbreaking to see how many musicians actually make music (particularly in my hometown) but do not want to spend money to watch other concerts. I understand that some people have no interest in music, but if you make music, you know how devastating the process can be (regardless of all the fun as well), right? The least thing you can do is to come and listen to that music.

Take the risk.
Buy the ticket.
Sit through the concert.
Appreciate music.

Be an audience.
(you'll be surprised how wonderful it can be)

Saturday, July 26, 2014

If You Have The Choices, Choose

No, no, no. Women do not HAVE TO follow the husbands.

This sentence was popping into my mind again and again when I heard a conversation where somebody is telling a 20-y.o. girl about relationship, and I really regret not having interrupted the conversation and say it out loud.

I don't know about you guys, but I think everybody needs to go for their dreams and hopes and do what they are most passionate about; when that means being wherever your loved one is, then go for it. But it doesn't have to be the ONLY way.

This is 2014, most women have the privilege to choose what they can do with their lives. Yes, some might want to travel the world. Yes, some might want to be a CEO. Yes, some might want to be a housewife and take care of the children. Yes, some can work and still take good care of the house. Yes, some don't even want to have children. Yes, some might even choose to be single forever. So what? Why not? Life is a choice, if you believe in it, you can do it, I say go for it.

Do you know what bothers me sometimes?
That some women don't have any choice.

Some women are forced to be married young, or forced to leave a job, forced to live alone, forced to do abortion, forced to do things without another choice.

So when a girl so young pops out, having so many choices, I personally do not think it is wise to say what she has to do, especially when the choice is so given that she should sacrifice whatever she plans to do when she got married. WHY?

I'd say you should find the person that is willing to compromise with you, so that both can have your ways to fullfill your destiny. Of course sometimes one has to give more, but a healthy relationsip is when both grow together. Especially because we are not living in the '40s and we do have choices.

Real love makes you a better person.
What kind of person is that? You decide.