Tuesday, June 22, 2010

Blackberry

Yes, I used to use BB. And yes, I do intend to use it again.
Cuma untuk satu alasan; MURAH. Karena semua orang sudah menggunakannya, rasanya memilih BB sebagai alat komunikasi adalah langkah yang cukup beralasan. Tapi saya takut. Takut jadi anti-sosial dalam dunia nyata.

Well, apapun perangkatnya, dunia maya memang menyedot kita dalam sebuah galaksi penuh imajinasi dan celetukan jenaka, sehingga kita terlepas dari apa yang ada di depan mata. Tak heran, kemudian pengguna BB sering dikatai 'autis' dalam konotasi memiliki dunianya sendiri. Atau tepatnya, dimiliki dunia lain.

Rasanya sepuluh tahun yang lalu, kita semua bisa hidup dengan telepon rumah, bukan? Rasanya lima tahun yang lalu, kita bisa tertawa lebar tanpa rasa gelisah walaupun handphone mengalami low-bat atau kehabisan pulsa.

Ironis rasanya, melihat beberapa orang duduk mengelilingi sebuah meja dan sama sekali tidak bicara satu sama lain. Semua mata terpaku pada layar BB masing-masing, seakan mengharapkan ada orang lain yang bercanda tawa tanpa perlu bertatap muka. Toh di saat seseorang bertemu dengan orang yang di-BBM itu pun, belum tentu akan tercipta kesenangan yang sama.

Ada apa dengan hidup kita, Jakarta? Apa kita sebegitu inginnya lepas dari apa yang terlihat oleh mata, sehingga kita membuat suatu tempat liburan di mana kita bisa melakukan sesuatu dengan siapapun tanpa harus bertemu siapapun? Apa kita sebegitu takutnya berhadapan dengan apa yang sedang terjadi, sehingga kita mengalihkan perhatian kita untuk hanya berhadapan dengan orang-orang yang membuat kita nyaman? Pasti ada sesuatu yang salah.

Salah satu alasan mengapa saya tidak kunjung mengganti smartphone saya dengan BB adalah karena saya ingin orang membayar untuk menghubungi saya. Egois dan aneh, memang. Tapi toh banyak yang tetap menghubungi saya lewat berbagai cara; sms, telepon, hingga twitter. Saat kita membayar untuk menyampaikan sesuatu, rasanya komunikasi jadi lebih padat dan berharga. Kita berpikir dalam menyampaikan sesuatu. Jujur saya rindu masa di mana kita bolak balik mengedit sebuah sms. Dan entah bagaimana, saya merasa saya lebih berharga. Basa-basi yang sering terpaksa saya lakukan saat bertatap muka tidak banyak saya temukan dalam sms, apalagi dengan orang yang tidak saya kenal dekat. Bayangkan saat layanan itu menjadi gratis. BBM misalnya. Alangkah mudahnya menghubungi seseorang...dengan kata lain, yang lebih sinis, alangkah mudahnya mengganggu seseorang.

Tentu saja ini hanya situasi kebanyakan. Saya memiliki banyak teman yang bisa menggunakan perangkat elektroniknya secara bijak sesuai fungsinya; alat komunikasi jarak jauh.

Entah sampai kapan saya bertahan dengan kesombongan saya ini, karena jujur saja komunikasi tak terbatas itu cukup menggoda. Dan saya pun akan tersedot dalam dunia maya itu dan perlahan melupakan keberadaan saya yang nyata. Kita lihat saja.

Sunday, June 20, 2010

Juri, Kali Ini Saya Yang Mau Komen

Karena seorang teman dekat berpartisipasi dalam sebuah talent show di sebuah stasiun televisi swasta, akhirnya setelah jutaan tahun (!) saya pun kembali memperhatikan keriaan yang tercipta di televisi nasional. Awalnya, saya terkejut dengan acara ini yang menampilkan begitu banyak bakat anak muda Indonesia yang luar biasa. Unik dan menarik. Apalagi banyak yang bersifat kedaerahan; hal ini tentu membangkitkan kembali rasa bangga akan identitas daerah dan identitas bangsa.

Akan tetapi, tentu saja karena blog ini bernama The Miss Complain, bukan Mrs.Nice Comment, maka saya pun mulai merasa jenuh dengan talent show yang penuh skenario dan mulai berlebihan. Kali ini saya ingin mengomentari soal juri. Bukan hanya acara talent show ini saja, tapi juga sebuah talent show pendahulunya yang mencari penyanyi pop di Indonesia. FYI, saya cukup menyukai juri-juri yang terpilih tampil di acara pencarian bakat massal itu, dan sangat tidak menyukai acara pencarian penyanyi yang sudah mencapai season ke-sekian itu.

Pertama, pujian juri.
Come on, hentikan pujian yang berlebihan. Anda duduk di sana untuk menilai positif dan negatifnya, bukan terus-menerus memuji. Pujian bisa dilakukan siapa saja, tapi kritik harus diberikan secara berdasar. Makanya Anda dipilih untuk duduk di situ, karena menurut CV Anda, Anda harusnya layak melakukan kritik berdasar atau pujian yang jelas.
NB: untuk acara talent show yang diikuti teman saya itu, juri-jurinya boleh diacungi jempol, lugas dan kritis. Tapi jangan buat saya mengomel lebih panjang untuk talent show menyanyi itu. Semua saja dipuji. Semua bagus. Tiap minggu penampilan terbaik. Aneh, bukan?
Memang ada juri yang tugasnya bicara sebagai penggembira, ada yang sebagai entertainer, ada yang sebagai juri teknis...ya tolong dong dilakukan dengan baik dan tetap ada alasannya.
"Bagus, saya suka." Ya kenapa suka?
"Ini penampilan terbaik kamu," tapi fals-nya melebihi bunyi klakson metromini.
"Stage act kamu bagus," ya apanya? Kenapa bisa bagus?
Anda kan ada di posisi di mana orang banyak sedang juga ingin belajar pada Anda. Kok pelit amat berbagi ilmunya? Apa jangan-jangan memang Anda tidak tahu alasannya?

Kedua, pengetahuan juri.
Ayo dong, Anda kan ditonton seluruh Indonesia. Anda kan dianggap tahu lebih banyak. Jangan tunjukkan bahwa Anda tidak pantas berada di meja itu! Harusnya kan Anda yang menguji kelayakan peserta berada di panggung, bukan malah jadi Anda yang tercoreng namanya. Penyanyi pop dibilang penyanyi opera. Suara fals dibilang pitch control baik. Suara datar dibilang penuh ekspresi. Lha ini kan namanya pembodohan masyarakat. Belum lagi kalau menggunakan contoh-contoh yang salah. Makanya, kalau jadi artis juga jangan sembarangan bicara, ayo canangkan wajib membaca bagi mereka, supaya bicara ada faktanya. Bikin penonton kagum sedikit boleh dong.

Ketiga, ikut-ikutan memasukkan emosi latar belakang dalam acara.
Anda kan di sana untuk mengomentari penampilan peserta, bukan latar belakangnya. Memangnya jaminan, kalau si peserta berasal dari keluarga miskin, dia pasti dicintai? Pasti bagus? Jangan dibikin rancu, ini acara cari bakat atau acara tangis-tangisan? Kalau tangis-tangisan, silakan bikin acara baru untuk memperlombakan kisah siapa paling tragis. Memang itu adalah bumbu acara, tapi juri tidak perlu banyak ikut campur. Saya sih sejujurnya tidak peduli orang itu anak yatim piatu, bekas tukang sepatu, atau pemilik hotel besar di dunia, kalau dia menampilkan sesuatu yang baik, ya saya akan sms untuk dia. Karena yang dicari itu bakatnya, bukan ceritanya. Terlalu banyak drama!

Pada intinya, juri itu dianggap sebagai 'guru', pendapatnya didengar khalayak ramai. Apapun yang sudah dikeluarkan untuk publik harus bisa dipertanggungjawabkan, dan tanggung jawabnya sangat besar! Semoga cepat atau lambat para juri memahami beratnya posisi mereka dan mau melakukan sesuatu yang mendidik bagi bangsa Indonesia.

NB: saya sungguh berharap juri-juri dalam acara pencarian bakat massal yang ditayangkan tiap sabtu dan minggu itu menjadi role model dalam acara talent show lain. Salut!

Friday, June 18, 2010

Dear Embassy

Beberapa saat yang lalu, rencana saya ikut audisi untuk sekolah di sebuah negara di Eropa tercekal karena masalah visa. Setelah meraung-raung dan guling-guling di lantai selama beberapa hari, saya memutuskan untuk berbincang dengan teman-teman saya yang juga sedang berurusan dengan kedutaan.

TERNYATA! Memang banyak anomali!

Saya tidak bisa memahami, mengapa prosedur satu sama lain sering berbeda dan penolakan visa sering terjadi tanpa alasan yang jelas atau membingungkan. Contoh kasus?

1. saya dan teman saya yg sama2 mengajukan aplikasi visa untuk studi dgn kondisi yang sama mendapat hasil yang berbeda. Bukan cuma dia mendapatkan visa segera, namun juga bebas biaya.
2. teman saya yang telah melengkapi surat2 untuk melakukan studi S2 ditolak tanpa alasan, padahal track recordnya baik.
3. teman saya yang suami-istri, mendaftar bersamaan untuk kuliah S2 yang sama, tidak diberi visa secara bersamaan, berselang kira-kira 1 bulan.
4. teman saya yang lain menikah dengan warga negara asing dan mengajukan aplikasi visa untuk berangkat sebelum sang suami habis kontrak kerjanya. Lebih dari 3 bulan, dijawab pun tidak.
5. temannya teman saya malah visanya ditolak karena jumlah uangnya terlalu banyak.

Yang paling menyebalkan adalah, urusan surat-surat aplikasi itu juga berbelit-belit!

Yang satu diminta surat A, yang lain tidak. Sementara surat A ini mungkin menelan biaya jutaan rupiah. Yang satu diwawancara, yang lain tidak. Plus, kadang si petugas kedutaan yang mungkin juga tertekan hidupnya, sering tidak meneliti kelengkapan dokumen itu sekaligus. Jadi misalnya hari ini kurang surat A, besok setelah ada surat A, ternyata surat B harus diubah. Setelah B diubah, ternyata surat C harus dibawa. Kenapa tidak langsung mengatakan ada surat A, B, C, dengan ketentuan blablabla?

Belum lagi kalau si petugas loket menjawab dengan ketus atau tidak memberikan info, melainkan berkata, "Lihat saja di website."

Mbak, kalau website Anda jelas, saya tidak akan bertanya. Tidak semua orang yang mau ke luar negeri itu tolol loh.

Ya ya ya, saya mengerti negara Anda ingin jaminan keamanan. Saya juga ingin aman. Anda ingin kepastian. Saya juga ingin kepastian. Tapi paling tidak, tolong berikan alasan yang jelas. Supaya kekurangan bisa segera diperbaiki dan waktu yang berharga tidak terbuang sia-sia. Atau memang semuanya harus dipersulit tergantung mood dari manusia?

Ah, birokrasi. Sistem itu kan dibuat untuk mengatur hidup kita supaya jadi lebih mudah dan terarah, bukan mempersulit dan menghancurkan hidup orang...


sambil meratapi visa yang tak kunjung tiba...

Thursday, June 17, 2010

You Just Work In The Store, Have Respect!

Saya punya seorang sahabat yang kesukaannya adalah berbelanja barang high-end alias barang mewah (siapakah dia? bisa dilihat di blog sebelah; Andeca Andeci). Saya sendiri tidak begitu menyukai belanja barang semacam itu, namun saya jadi sering keluar masuk toko-toko yang harga barang2nya dimulai dari tujuh digit.

Hal yang paling menyebalkan adalah, di saat kami datang dengan dandanan 'biasa' alias a la remaja (karena kami masih muda!), sering muncul sikap sinis dari sang penjaga toko. Biasanya yang dilakukan adalah;
1. bersikap cuek
2. tidak menjawab saat ditanya
3. menganjurkan kami utk pergi ke 2nd atau 3rd line dari sang designer (contoh saja; di Roberto Cavalli disuruh ke Just Cavalli, dari Armani disuruh ke Armani Exchange)

Lebih menyebalkan lagi kalau si penjaga juga bersikap sinis bila kita melakukan pembelian untuk barang diskon.

MEMANGNYA KENAPA?

Pertama,
Anda kan kerja di toko itu. Bukan yang punya. Jadi sikap seperti itu mencoreng brand yang Anda jaga.

Kedua,
Saya kan tahu jumlah gaji Anda. Itu kan tidak cukup untuk membeli bahkan barang diskon di toko ini. Jadi kenapa Anda sinis kalau saya beli barang diskon ini?

Ketiga,
Kalau tokonya yang diskon, memangnya gaji Anda ikut didiskon? Anda kan digaji! Jadi Anda tidak berhak memperlakukan customer setengah-setengah juga.

Keempat,
Anda kan tidak pernah tahu, siapa yang Anda hadapi di mall-mall mewah! Kadang, orang yang mampu beli barang di toko Anda itu tidak harus terlihat spektakuler. Anda bisa saja berhadapan dengan pers, teman dari orang yang berpengaruh, atau...saya! Hahaha!

Kelima,
Biarpun OKB (Orang Kaya Baru), biarpun orang yang menabung seumur hidupnya cuma untuk beli satu barang di toko Anda, mereka customer. Tugas Anda cuma melayani customer. Kalau itu saja tidak bisa Anda lakukan dengan baik, jangan jadi penjaga toko itu. Bisa jadi kasir. Bisa jadi cleaning service. Atau jadilah manager. Atau sekalian jadilah orang kaya dan milikilah toko itu. Tapi selama Anda masih jadi penjaga di situ, layanilah customer dengan baik. It's your job, not mine.

So, my point is;
when you work in a store, please be nice and respect your customers, though you have no idea who they are or you think they would never buy anything.

BECAUSE IT'S YOUR JOB, FOR GOODNESS' SAKE!!!
(I am not asking you to be a super human!)


Just-a-note: 3 stores that had never put us into trouble or made us feel emotionally attacked, @ Plaza Indonesia, so far;
- Bally
- Tod's
- Gucci

Oh really, Ms.Goeslaw, you think GITA GUTTAWA is an OPERA SINGER?

Beberapa saat yang lalu saya mendapat kabar bahwa Melly Goeslaw, tokoh yang pasti banyak didengar oleh masyarakat, mengatakan bahwa penyanyi opera terbaik di Indonesia adalah Gita Guttawa.

Semoga kabar ini tidak benar (semoga! benar2 berharap ini bohong!!!)! Karena Gita Gutawa bukan penyanyi klasik, apalagi opera. Dia tidak menyanyikan lagu2 klasik, melainkan lagu pop dengan sentuhan orkestrasi. Hal ini juga dikonfirmasi ayahnya sendiri, Bapak Erwin Guttawa, yang mengatakan bahwa anaknya adalah penyanyi pop, bukan klasik. Kemudian, Gita Guttawa tidak pernah memainkan opera klasik. Sama sekali. Sehingga tidak mungkin itu menjadi profesinya, bukan?

Saya sama sekali tidak mempersalahkan Gita Guttawa. Tapi saya hanya ingin menjelaskan kenapa banyak orang yang sedang bergelut di dalam dunia musik klasik sering memendam kekesalan terhadap komunitas pop. Hal yang paling menyebalkan untuk saya pribadi adalah, banyak orang yang SOK TAHU.

Tentu saja tidak bisa kita menyalahkan pendidikan musik klasik pada publik, karena toh itu bukan budaya kita. Tapi kalau memang tidak tahu, kenapa bukan cari tahu, tapi malah bersikap sok tahu? Melly Goeslaw, contohnya, adalah tokoh pop yang cukup dihormati, sehingga pasti dia didengar banyak orang yang tidak mau memproses informasi tersebut namun percaya mentah2. Maka akan muncul anggapan di media dan masyarakat, bahwa Gita Guttawa adalah role model dan diva tingkat tertinggi opera di Indonesia. MENGERIKAN!

Sudah terlalu banyak 'salah kaprah' gambaran dunia musik klasik yang terpapar pada publik. Suara yang tinggi, dianggap klasik. Suara yang tebal dan sedikit bulat, dianggap klasik. Bila iringannya memakai orkestra, menjadi klasik. Dan karena banyak orang yang merasa tidak cukup pintar untuk mencari sendiri, banyak orang yang langsung percaya. Saya bukan siapa-siapa dalam dunia musik klasik, sehingga saya juga tidak akan lancang memberikan pengertian apa itu musik klasik. Tapi saya mencari. Dan saya ingin mengajak teman-teman untuk ikut memahaminya lewat cara yang benar. Bukan mengidolakan tokoh-tokoh yang tidak tepat. Tidak tertipu pernyataan dan standar yang sesat. Karena pembodohan masyarakat secara luas sedang terjadi. Bayangkan betapa sedihnya, bila misalnya Anda adalah guru besar matematika, Doktor lulusan luar negeri, seorang ahli yang bekerja keras, lalu tiba-tiba seseorang melakukan perkalian, 10 x 10 = 100, dan si pembawa acara mengatakan, "Hebat sekali! Inilah ahli matematika terbesar di Indonesia!" Bayangkan kerusakan standar besar-besaran yang diakibatkan kebodohan si pembawa acara!

Ide yang ingin saya masukkan dalam kepala para petinggi musik pop itu adalah; pernyataan2 semacam ini menyakitkan banyak orang dalam komunitas musik klasik. Ini bisa dibilang fitnah. Sementara Indonesia memiliki begitu banyak musisi klasik yang luar biasa dan berkiprah dalam musik klasik nasional hingga internasional, namun nama mereka ditenggelamkan begitu saja hanya karena pernyataan dangkal yang tidak berdasar dari seorang selebritis.

Kita patut prihatin.
Dan para selebritis itu patut merenung.

The Day Miss Complain Was Born

Ya, saya adalah perempuan muda cerewet yang selalu marah-marah.

Kenapa?
Karena selalu ada alasan untuk marah-marah!

Hidup di kota Jakarta dan suka memperhatikan bangsa Indonesia, rasanya selalu ada yang bikin darah menggelegak. Panas! Ingin marah-marah!

Mungkin karena saya nasionalis.
Mungkin karena saya feminis.
Mungkin karena saya seniman.
Mungkin karena saya lapar.
Mungkin...
PENGEN MARAH AJA!

Or maybe because some people are just too stupid to be true.

So here it is.
The Miss Complain.
Who complains.

Let's complain!

;-D